Ketika Sang Guru Mengojek

Oleh Mohd. Adhli

Mohd. Adhli Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Bergiat di UKM Teater Batra.

SEJAK WISUDA dan terima ijazah, rutinitas Sarjan hanya berdiri di depan papan tulis dengan kapur di tangan. Goresan-goresan putih itu tak terasa telah melahirkan sarjana bagi muridnya yang bernasib baik melanjutkan kuliah. Namun tak dipungkiri ada pula yang jadi preman pasar, polisi, tentara, pegawai negeri sipil, atau lonte.

Pak Sarjan—begitu ia biasa disapa—tidak mengajarkan murid-muridnya jadi seperti yang mereka jalani sekarang. Entah polisi, tentara, sarjana, atau lonte. Yang diajarkan, bagaimana muridnya bisa berbicara, menulis, menyimak, dengan baik. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Soalnya, Sarjan, SP adalah guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Bahkan, kadang dia juga ajarkan muridnya berpuisi, menulis cerpen, atau bermain teater. Meski dia sendiri tak tahu, apakah ada di antara muridnya, di kemudian hari, bisa menerima ajarannya dan menerapkannya.

Sarjan tipe guru pendidik. Tidak macam-macam. Kepandaiannya hanya mengajar. Tidak bisa jual buku, tidak bisa berbisnis dalam penerimaan siswa baru. Sekolahnya juga sekolah swasta. Apa ada yang mau memberi duit agar bisa diterima di sekolah ini? Perkawinan Sarjan pun tak neko-neko. Setahun tamat kuliah, masih berstatus guru honor, sampai sekarang setelah 15 tahun mengajar masih berstatus guru honor, dia melamar gadis tetangga.

Paini, nama gadis yang dinikahinya, anak seorang tukang sampah. Hasil perkawinan dengan Paini telah lahir tiga anak. Mereka mensyukuri hidup. Meski tak bisa foya-foya, kehidupan keluarganya lumayan. Kontrak rumah berkamar satu, dindingnya dari kayu dan atapnya dari seng, tak pernah nunggak. Begitu juga bayaran listrik.

“Gimana caranya ngojek?” tanya Sarjan. “Kamu kan ngajar. Gengsi, nanti ketemu murid,” jawab si teman yang buta huruf. Sarjan tak bergeming. Akhirnya dia pun resmi jadi pengojek.

Ada satu hal yang jadi pertanyaan di benak Sarjan. Ketika anak sulungnya sudah tamat taman kanak-kanak, ternyata umurnya belum cukup masuk sekolah dasar. Kalau saja tetangganya tak ada yang cerita bahwa dulu ada anak lain yang sama seperti anak Sarjan dan bisa diterima di SD, barangkali si sulung, Parman, masih tidak bersekolah. “Bisa. Datangi saja guru yang rumahnya di ujung lorong sana. Beri dia amplop, tak usah banyak-banyak, nanti tanpa dites pun anakmu bisa masuk kelas 1,” ujar si tetangga.

Awalnya Sarjan tak mau. Apalagi, dia tahu syarat masuk SD mestinya 6 tahun. Isterinya yang ngotot. Sampai ambil keputusan sendiri. Sarjan tak marah ketika tahu anaknya ternyata memang bisa masuk SD. Begitupun ketika disodori tagihan uang buku dari sekolah. Jumlahnya ternyata lebih besar dari yang mesti dikeluarkan murid-murid di SMA tempatnya mengajar. Sudahlah, pikir Sarjan, mungkin itu nasib orang tua.

SEPERTI ITU pula ketika di sekolahnya masuk guru kontrak baru. Padahal, Sarjan sendiri sudah tiga kali ikut tes guru kontrak, tak pernah lulus sejak tahun 1999. Sementara, guru kontrak baru itu, setahunya, belum pernah honor. Persyaratan ikut tes guru kontrak mestinya memiliki surat rekomendasi dari kepala sekolah tempatnya honor. Tapi Sarjan tak mau susah memikirkan. Yang penting baginya, bagaimana dia berhemat seirit-iritnya. Soalnya, dengan masuknya dua guru kontrak baru, sementara jumlah siswa tak seberapa, berarti jumlah jam mengajarnya  berkurang. Artinya, honor yang diterimanya juga berkurang. Memang lima tahun terakhir sekolahnya semakin kurang diminati murid baru. Soalnya fasilitas sekolah tergolong kurang. Kini, dengan hanya mengajar dua kelas 1, Sarjan hanya mengajar 10 jam seminggu. Honor yang diterimanya Rp 7 ribu per jam. Jika dikali 10 jam, berarti dia hanya terima Rp 70 ribu seminggu.

Beruntung dia masih dapat honor dari tugasnya mengurus siswa dan sanggar teater. Kalau digenap-genapkan, dapatlah Rp 150 ribu. Sementara anak keduanya kini juga sudah masuk SD. Kalau dulu masih lumayan karena mengajar kelas 1, 2 dan 3. Beban tugas, dengan berkurangnya jam mengajar, tentu saja berkurang. Dengan begitu, kini Sarjan punya banyak waktu luang. Dia lebih banyak di kantor. Namun banyak waktu luang tak membuatnya senang, justru pusing. Apalagi kalau pulang, Paini selalu ngomel. Soal jajan anak, bayaran sekolah, duit beli buku, beli beras.

Suatu hari Sarjan bertemu bekas tetangganya, Iman. Dia diajak naik motor. Motor baru. Masih mengkilat. Ternyata itu motor ojek. Terpikirlah untuk ngojek. “Gimana caranya ngojek?” tanya Sarjan. “Kamu kan ngajar. Gengsi, nanti ketemu murid,” jawab si teman yang buta huruf. Sarjan tak bergeming. Akhirnya dia pun resmi jadi pengojek.

Hari pertama, tak sengaja dia membonceng seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang mengenakan seragam Korpri. Tampaknya terburu-buru. Begitu tiba di tempat tujuan, Sarjan membuka helm, sang penumpang pun mengenali Sarjan. “Bapak, guru saya dulu kan?” tanya penumpang yang ternyata kini sudah jadi PNS di kantor walikota. Ongkos pun tak perlu dikembalikan. Uang Rp 20 ribu masuk ke kantong.

Sekali waktu, saat ada razia, Sarjan kena tilang. Maklum, penumpangnya tak pakai helm. Dia juga belum punya Surat Izin Mengemudi (SIM). Seorang komandan polisi mendekatinya. “Anda melakukan banyak kesalahan. Silahkan lanjutkan perjalanan. Ini saya pinjamkan helm untuk penumpang Anda. Besok temui saya di kantor,” ujar si komandan yang tidak mengembalikan surat-surat motornya. Sarjan sama sekali tak tahu dan tak mengerti kalau si komandan itu bekas muridnya. Esoknya, dengan bantuan bekas siswanya itu, Sarjan pun mengantongi SIM. Surat tilangnya pun bisa ditebus tanpa sidang. Dengan SIM di tangan, Sarjan pun kian giat. Bahkan kini dia sering ngojek sampai larut malam.

Hingga suatu ketika dari sebuah hotel ada wanita yang menghentikan laju sepeda motornya. Seorang wanita berpakaian seksi. Ketika sepeda motor sudah jalan, baru wanita itu menyebut alamat yang ditujunya. Terdengar isak tangis. Tanpa diminta, wanita itu pun bercerita bahwa dia wanita panggilan. Tetapi harga dirinya terkoyak ketika lelaki pelanggannya meminta layanan yang tak masuk akal. Dia terpaksa melayani. Lelaki itu lalu ditinggalkannya.

Tak terasa sepeda motor sudah tiba di tempat tujuan. Sarjan ingat, di sini, beberapa tahun lalu, dia pernah mengantar siswinya yang pingsan saat pelajaran olahraga dengan menumpang becak. Ketika wanita  yang diboncengnya mau membayar, terlihat jelas siapa wanita itu. Bekas muridnya. Uang Rp 50 ribu tak disentuhnya. Sarjan cepat memacu sepeda motornya. Tinggallah sang wanita melongo sembari mengelap air matanya yang terus mengalir.

Punya tambahan penghasilan, membuat Paini, isteri Sarjan, kini lebih ramah. Setiap hari bisa menerima uang sisa setoran. Anak-anaknya tak perlu lagi menangis kalau minta uang jajan. Saban Sabtu, setiap minggu, keluarga ini bisa cuci mata keliling kota naik motor.

Di benak Sarjan, nanti dia akan beli lagi dua atau tiga sepeda motor. Lalu, motor itu akan dipercayakan pada temannya. Dia tinggal terima setoran. Naik pangkat jadi juragan ojek. Tentunya waktu mengajar akan semakin banyak. Lalu Paini akan diberi modal untuk buka warung di rumah. Dari warung akan berkembang jadi mini market.

Belum lagi dia beli motor, isterinya belum jualan, seorang penumpangnya sudah keburu melilitkan kawat ke lehernya setelah diantar ke tempat yang sepi sesudah magrib. Sarjan pun terkapar, motornya berpindah tangan. Ketika ada penemuan mayat yang sudah membusuk, rekan-rekan guru dan pihak sekolah tak percaya kalau yang menjadi korban penumpang ojek itu adalah Sarjan. Mereka baru sadar setelah melayat dan menghadiri pemakaman, siapa sesungguhnya Sarjan itu. ***

Diilhami dari tewasnya seorang tukang ojek korban perampokan dengan kondisi mengenaskan pada bulan Ramadhan tahun 2009 lalu di Stadion Mini Universitas Riau.

 

Tinggalkan komentar