Tradisi Intelektual: Baca Tulis Diskusi

wirianto aswirMENARIK bila memperhatikan kutipan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ia menyatakan, “Ikatlah ilmu dengan menulis.” Atau sebuah motivasi dari penulis Pramoedya Ananta Toer. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Hari ini kita selaku mahasiswa atau pribadi, hendaknya perlu muhassabah diri mengingat kembali kebiasaan yang kita lakukan dan membandingkannya dengan keahlian (skill) yang kita miliki.
Seorang pemikir besar pun tidak lepas dari kebiasaan kecilnya yaitu menulis buku harian. Kita bisa lihat sosok Soe Hok Gie yang punya kebiasaan menulis catatan harian. Atau mungkin Ahmad Wahib, seorang aktivis yang juga menunjukkan dinamika berpikirnya lewat buku diary. Meski mereka telah tiada, namun alur pemikirannya masih bisa diketahui lewat tulisan-tulisan mereka.
Penyair Kuntowijoyo pernah mengatakan, syarat untuk bisa menulis tak lain adalah menulis, menulis dan menulis. Dimana? Tidak perlu berpikir besar, kampus kita sudah menyediakan wadahnya. Ada Bahana Mahasiswa, Tekad atau buletin yang dimiliki banyak fakultas dan jurusan. Bukankah ini wadah untuk berkreasi yang cukup baik? Kalau mau kita juga bisa mulai lewat weblog gratis. Ada blogger.com oleh Google, wordpress.com atau kompasiana.com.
Jantung mahasiswa pernah berdetak lebih kencang ketika kampus membuat peraturan untuk lulus universitas mahasiswa harus menerbitkan sebuah karya ilmiah di jurnal. Saya kira hal ini perlu didukung semua kalangan, termasuk Himpunan Mahasiswa Jurusan, Badan Eksekutif Mahasiswa, bahkan tenaga pengajar semua jurusan.
Selain menulis, tradisi intelektual berikutnya adalah membaca. Cakrawala berpikir akan semakin luas dengan membaca. Ini juga salah satu cara mudah yang kita lakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia. Kebiasaan membaca sering pula dikaitkan dengan karakter seorang pemimpin (Leader, Amir). A good leader is a reader.
Faktanya, negara maju seperti Jepang telah menjadikan membaca sebagai budaya positif masyarakatnya, dimulai sejak restorasi Meiji. Selain pekerja keras, Jepang juga dikenal negara yang memiliki masyarakat “kutu buku” terbesar. Setiap tahun tak kurang 1 milyar buku dicetak.
Tradisi intelektual berikutnya yang juga penting adalah berdiskusi. Masih banyak dari kita yang menganggap diskusi sebagai barang “aneh” dan tidak bermanfaat. Padahal lewat diskusi proses transfer ilmu terjadi. Diskusi tak mesti di dalam kelas, di mana dosen menjelaskan dan mahasiswa mendengarkan. Bukankah proses transfer ilmu lebih nyaman dilakukan dua arah? Di dalam kelas, proses perkuliahan dua arah yang intensif masih jarang ditemui. Kalaupun ada, ia terkesan kaku, tidak fleksibel seperti tradisi berdiskusi di kelembagaan mahasiswa.
Proses kuliah akan lebih menyenangkan bila diisi dengan kegiatan baca, tulis, diskusi. Apalagi ditambah dengan kesadaran arti penting berorganisasi. Bisa pula mentransformasikan ilmu lewat tulisan atau mampu menyampaikan gagasan lewat lisan.
Akhirnya marilah sama-sama kita menghitung diri dengan kesadaran, siapa kita? Sejauh apa kualitas kita?#

Wirianto Aswir
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan ‘10

Tinggalkan komentar