SEULAS PINANG

Pemilihan dekan telah usai. Bahkan sudah sepuluh bulan berlalu. Soalannya, sampai kini Prof. Bustari Hasan, dekan terpilih, belum juga dilantik. Sudah lama memang. Dua bulan lagi genap setahun. Apa pasal?

Pasal utama karena munculnya surat Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Surat yang dikirim melalui Rektor UR, Prof Ashaluddin Jalil, memaparkan hasil audit khusus dugaan penyimpangan proses pemilihan Dekan Faperika UR periode 2010-2014. Kesimpulannya, inspektorat merekomendasikan Faperika lakukan pemilihan ulang.

Ada empat pertimbangan inspektorat—berdasarkan temuan yang didapatnya. Pertama, soal Jasril sebagai anggota senat utusan pegawai, pemilihannya tak melalui rapat pegawai. Soal status Deni Elfizon ikut pemilihan saat tugas belajar. Soal lobi-lobi selama pemilihan. Soal surat perjanjian antara Prof. Bustari dan Prof. Dewita Bukhari.

Bustari selaku dekan Faperika gelar rapat senat guna menjawab surat rekomendasi inspektorat. Hasilnya, senat sepakat tolak pemilihan ulang. Hasil lainnya, desak rektor lakukan pelantikan dekan.

Namun sampai kini, Prof Ashaluddin belum juga melantik dekan Faperika. Ia katakan semua sedang dalam proses. “Kita sedang bicarakan dengan kementerian. Kita kan tidak sendiri, institusi ini berada di bawah kementerian,” katanya.

Yang jadi soal, mengapa surat inspektorat bisa muncul? Dari mana ia tahu, ada ketidak beresan dalam pemilihan dekan Faperika? Jawabnya karena datang surat kaleng yang dikirim ke inspektorat. Berbekal surat kaleng, mereka turun ke Faperika. Hasilnya, dua dari empat dugaan itu terbukti. Yang terbukti soal Deni Elfizon dan surat perjanjian.

Surat perjanjian ada karena terjadi lobi sana-sini selama jeda antara pemilihan putaran pertama dan kedua. Jeda hingga 1,5 jam. Itu membuat para calon dekan dan tim pendukungnya leluasa lakukan lobi. Ketua pemilihan dekan salah dalam hal ini. Namun ia mengaku hanya beri jeda 15 menit sambil siapkan surat suara. “Mereka langsung bilang 1 jam dan keluar ruangan. Saya akui ketidak tegasan saya,” aku Ridwan Manda Putra, ketua pemilihan. Dari masa jeda itulah terjadi lobi hingga muncul surat perjanjian.

Rupanya, selain surat perjanjian, ada kejanggalan lain. Itu tergambar saat rapat senat 22 September tentang penolakan pemilihan ulang Dekan Faperika. Rapat itu tak mengundang Prof. Yusni dan Prof. Bintal di rapat senat, padahal mereka anggota senat aktif. Rapat itu malah undang Prof. Adnan yang ‘abu-abu’ sebagai PNS. Trik lain, empat wakil dosen sudah habis masa jabatannya sebagai wakil senat, tapi ikut rapat.

Kejanggalan lain; empat ketua jurusan sudah dua bulan dipilih, namun belum di-SK-kan. Eni Sumiarsih diangkat jadi Kajur Prodi MSP tak melalui pemilihan, langsung ditunjuk dekan. Ternyata Eni dan Bustari sama-sama orang Kampar. Ada pula pemilihan kajur BDP sampai dua kali. Kajur yang terpilih di pemilihan pertama dianulir dekan.

Bagaimanapun, jika ini intrik untuk merebut kekuasaan, tentu tidak dibenarkan di ranah pendidikan. Namun mengatasi masalah yang terlanjur basah ini, diperlukan ketegasan rektor. Karena semua memang tergantung rektor.

Husnu Abadi, pakar Hukum Tata Negara menilai, ini otoritas kampus. Inspektorat hanya merekomendasikan, tak berhak membatalkan. Konsekuensi yang harus ditanggung rektor, bila ia melantik, lalu ada yang protes melalui pengadilan tata usaha negara, ia akan kena gugat. Namun bila rektor tak juga melantik dalam waktu empat bulan, dan pihak Bustari menyatakan rektor menolak meng-SK-kan dekan terpilih, maka rektor akan dianggap melanggar aturan yang ada. Ia juga bisa dituntut. Di sini, rektor harus tegas mengambil sikap. Bila tidak, mahasiswa akan kena dampaknya.

Ayo Prof. Ashaluddin, tunjukkan sikapmu! (redaksi) ***

Tinggalkan komentar