Prof. Aras Mulyadi: Pengabdian Dosen Masih Minim

Prof Aras Mulyadi, PR I dan Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Foto Oleh Aang AS.

DOSEN RUH UNIVERSITAS. Kata itu sempat dilontarkan Menteri Pendidikan Nasional, M. Nuh dalam sambutan saat pelantikan Rektor Universitas Riau (UR), Selasa (24/8) lalu. “Permohonan Menteri biasanya harus dilaksanakan,” kata Prof. Aras Mulyadi. Menteri memohon peningkatan kualitas dosen dengan memperbanyak dosen yang S-3, dan pengabdian pada masyarakat. Aras, Pembantu Rektor I (PR I) UR, membantu rektor di bidang akademik. Artinya, ia punya andil besar tingkatkan kualitas dosen UR.

Kamis (2/9), di ruangannya, Aras baru saja usai sholat zuhur. Ia duduk di kursi sambil mengecek setumpuk berkas di meja kerjanya. “Disambil aja ya,” kata Aras, saat menerima kru BM, Aang Ananda Suherman dan Lovina yang hendak bercakap-cakap dengannya.

Apa tanggapan soal permohonan Menteri?
Kata Pak Menteri itu terjadi di Indonesia, bukan di UR saja. Secara umum seperti itu. Kan dari 25 ribu dosen di Indonesia, baru 2.500 yang S-3, itu berarti baru 10 persen juga. Jadi bukan hanya di UR, secara umum memang seperti itu.

Apa persoalan dasar minimnya dosen bertitel S-3?
Di UR baru sekitar 100 dosen yang S-3. Masalahnya bisa saja dari segi usia. Kawan-kawan yang usianya sudah di atas 40 tahun gak semangat lagi. Walaupun studi dalam negeri. Atau mungkin bisa saja masalah ekonomi. Secara umum universitas memfasilitasi dosen melanjutkan program studi. Sekarang kunci utamanya di Bapak dan Ibu dosen itu.
Prinsipnya, jika kualitas dosen bagus Universitas Riau (UR) juga bagus. Riset universiti ujung-ujungnya program pasca sarjana. Syarat dosen mengajar di pasca sarjana harus S-3, terutama penanggung jawab mata pelajaran. Artinya dosen dipicu untuk melanjutkan studi.
Sekarang, beasiswa tersedia di Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), beasiswa untuk melanjutkan S-2 dan S-3, baik di dalam maupun di luar negeri. Dari beasiswa itu, tergantung kawan-kawan dosen untuk memanfaatkannya.

Jika tersedia, kendalanya apa?
Kalau studi di luar negeri kan ujung-ujungnya kemampuan berbahasa. Dikti hanya berikan beasiswa studi saja, tidak bahasa.

Jadi apa peran universitas?
Universitas bantu tingkatkan kemampuan berbahasa. Ini kita lakukan program pembiayaan untuk pelatihan bahasa. Sejak tahun 2009, sudah 40 dosen kita kita kursuskan untuk peningkatan kualitas bahasa di Bandung. Kita sudah bantu biaya mereka untuk tes Toefl (Test Of English Foreign Language). Itulah untuk meransang kawan-kawan dosen untuk melanjutkan pendidikan terutama ke luar negeri. Dana ini kita ambil dari PNBP yang masuk dalam DIPA.

Apa kriteria dosen yang dikursuskan?
Kita adakan dulu tes dasar dari Unit Pelayanan dan Pengembangan Bahasa (UP2B), dari hasil tes itu kan kita ambil standar minimal untuk diberangkat kursus ke Bandung. Kan gak mungkin kemampuan bahasa yang dari nol kita berangkatkan langsung ke Bandung, kan aneh.

Standar Toefl-nya berapa?
Tak sampai 400, sekitar 350 lah kemarin.

Dari mana saja dosen bisa mendapatkan biaya S-3?
Untuk kuliah dalam negeri, itu ada dari Dikti, namanya BPPS. Ada dari Pemerintah Propinsi (Pemprop). Kita selalu dikuotakan Pemprop. Untuk tahun ini saja kita dikuotakan untuk S-2 dan S-3 sebanyak 10 orang. Dari pihak swasta kan ada juga, Tanoto, Chevron, tapi kan memang terbatas jumlahnya.

Untuk beasiswa kuliah ke luar negeri?
Ada dari Dikti juga, kemudian dari sponsor pemerintah di tempat dosen ini akan jalankan studi. Misal dari pemerintah Jerman, Australia, Belanda, Jepang. Tapi itu semua kan melalui seleksi. Dan pihak mereka sendiri yang melakukan seleksi.

Berapa besar peluang dosen UR dapat beasiswa S-3 di luar negeri?
Salah satu kuncinya bahasa. Besar peluang jika dia mampu untuk itu. Kalau dari beasiswa Dikti yang ke luar negeri itu, selain Toefl harus ada  letter of acception, surat tanda diterima di perguruan  tinggi tertentu. Cuma untuk mendapatkan surat itu tentu hal penting komunikasi, dan hubungan emosional yang terbangun, dengan perguruan tinggi yang ada di luar negeri itu.

Jadi memang dosen harus proaktif?
Iya. Ya kan tergantung dianya sekarang.

Jadi UR membantu dari segi mana?
Kita berikan bantuan pada yang putus beasiswa. Orang yang masih aktif itu kan tidak prioritas. Ada orang yang menjerit-jerit karena putus beasiswa, itu yang kita bantu. Tapi itukan sifatnya bantuan.

Ada wacana program 100 doktor, kapan mulai?
Rencana Pak Rektor mulai tahun depan, tahun 2011. Kan 2010 mau habis.

Seperti apa gambarannya?
Universitas buat skim pemberdayaan untuk itu, dan juga membuka pintu kerjasama dengan sumber-sumber pembiayaan. Karena soal pembiayaan universitas tak bisa berdiri sendiri.
Makanya, akan ada kerjasama antara perguruan tinggi yang ada di Riau dengan pemerintah daerah (Pemda), baik Pemprop, Pemkab dan Kota. Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM yang ada. Jadi program ini juga muncul dari daerah sendiri.

Jadi dosen harus bagaimana?
Tidak hanya dosen yang harus bersiap, universitas juga harus banyak berperan. Menyiapkan bahan baku untuk melanjutkan pendidikan. Jadi kelemahan kita kesiapan, universitas menyiapkan segi bahasa, dan segi beasiswa, kalau sudah ada bahan bakunya, kan tinggal dosen memilih jalur yang mana.

Menteri juga menyinggung minimnya pengabdian dosen?
Memang yang minim itu pengabdian, kalau penelitian kan sudah. Cuma mungkin, penelitian perlu publikasi dan implementasi. Jadi penelitian para dosen tak hanya publikasi, tapi dapat di implementasikan. Harus bersinergi antara penelitian dan lembaga pengabdian masyarakat.
Lemabaga penelitian menghasilkan teori-teori dan teknologi, yang siap diimplementasikan lewat pengabdian pada masyarakat, kan itu yang diharapkan Menteri. Hari ini seolah-olah pengabdian pada masyarakat diam, penelitian kan sudah banyak, mungkin belum terimplementasikan.

Bagaimana anda menilai penelitian dosen?
Selama ini, produk akhir penelitian dosen laporan penelitian. Seharusnya, teknologi tepat guna, kerangka teori hasil penelitian, publikasi sehingga bisa dirujuk, dan kalau bisa lagi paten. Itu sebetulnya yang diharapkan. Jadi laporan penelitian hanya persyaratan administrasi untuk mempertanggung jawabkan dana yang digunakan, bukan tujuan akhir.
Selama ini, laporan penelitian dosen tak dibaca orang, teknologi tepat guna tak teraplikasikan, makanya pengabdiannya rendah, tidak terpublikasi. Ketiga tak ada kerangka teori, ndak bisa digunakan oleh dosen, seharusnya kerangka teori ini digunakan untuk mengajar. Dan mahasiswa pun semangat menerima yang memang dilakukan dosen itu sendiri.
Jadi kalau tujuan penelitian sudah empat produk (teknologi tepat guna, kerangka teori, publikasi, dan paten) akan muncul nanti pengabdian masyarakat yang dimohonkan Pak Menteri. Permohonan Pak Menteri itu instruksi namanya.

Penelitian dosen tidak dekat dengan masyarakat?
Itu bisa jadi, makanya Dikti itu mengikat empat produk penelitian itu. Setiap hasil penelitian harus bisa diimplementasikan di masyarakat. Biasanya ada kenaikan pangkat ya, nah untuk naik pangkat itu kan salah satunya dinilai hasil penelitian.  Kalau hasil penelitian itu hanya laporan penelitian, itu nilai kredit poinnya jauh dari nilai yang empat—kerangka teori, publikasi, teknologi tepat guna, dan paten tadi.
Berarti mau ndak mau laporan penelitian ini hanya tujuan sampingan, karena sudah tinggi poin yang empat tadi. Sehingga laporan penelitian bukan produk akhir dari penelitian itu, cuma syarat administrasi, lama kelamaan bisa ndak dihitung ini laporan penelitian.

Apa yang harus dilakukan pimpinan universitas?
Penganggaran untuk penelitian. Ini kan sudah berjalan. Untuk penelitian dari PNBP sudah dianggarkan 10 persen, dan itu sudah jelas skimnya, itu diberikan melalui laboratorium. Kepada dosen secara kompetisi, dan kepada guru besar yang basisnya juga laboratorium.
Jadi harapannya, penelitian yang dilakukan dosen memang melembaga. Kalau lembaga kan jadi banyak orang yang terlibat. Dan mahasiswa juga terlibat. Kalau tidak melembaga, nanti kelompok tertentu saja yang terlibat.
Pokoknya penelitian yang diberikan nanti harus berbasis laboratorium. Dan penelitian kerjasama dengan pihak luar, harus lewat lembaga penelitian. Jadi bisa dicacah, dipublikasikan dan dimanfaatkan guna keperluan kelembagaan. Dan sekarang sudah mulai seperti itu, sudah berjalan dan muali baguslah itu.
Jadi sebagai dosen harus apa?
Dosen fungsinya kan tiga sesuai tri dharma perguruan tinggi, pendidikan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Jadi jangan mentang-mentang sudah guru besar, tugasnya selesai dengan mengajar saja. Harus diimbangi ketiganya.
Oleh karena itu di dalam beban kerja dosen (BKD) sekarang ini ada persentase masing-masing tri dharma, pendidikan pengajaran harus minimal 30 persen, penelitian minimal 25 persen pengabdian harus 10 persen, dan lain-lain juga ada, jadi kita harus mendistribusikan beban kerja kita ke ketiga komponen tri dharma.
Jadi kalau tak begini, gak jalan kompetensi selaku profesi dosen itu. Profesi itu kan dibuktikan dengan sertifikasi. Bagi dosen BKD-nya tak memenuhi tiga komponen tri dharma, gak dibayarkan tunjangan profesinya sebagi dosen, jadi wajib dilaksanakan kegiatan yang mencakup tri dharma perguruan tinggi.

Dari evaluasi kinerja dosen dalam melakukan tri dharma?
Dari evaluasi kinerja paling minim itu memang pengabdian. Jadi perlu peningkatan dalam bidang pengabdian. ***

TABEL

 

Kegiatan
Dosen Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2010n Dikti
(DP2M)”

Defri Yoza
Rudianda
Sulaeman                                  FAPERTA

Besri Nasrultc

Didi Muwardi

Evy Rossi

Usman Pato                                       FAPERTA Murniati

Fifi Puspita

Besri Nasrul                                                  FAPERTA

Besri Nasrul

Anis Tatik

Febriana Sabrian

Ida Zahrina                                FT

Hensripides

Faizah Hamzah                                             FAPERTA

Shorea Khaswarina

Hamdan Alawi

Usman M. Tang    FAPERIKA

Sukendi

Ridwan Manda Putra
FAPERIKA

Yurisman

Ida Zahrina tc “Ida Zahrina “

Bahruddin
FT

Said Zul Amraini

Yeni Kusumawaty

Susy Edwina                                                 FAPERTA

Evy Maharani

Misrawati

Yulia Irvani Dewi

Dewita Buchari

Syahrul Sam FAPERIKA Teten Suparmi

Usman M. Tang

Hamdan Alawi   FAPERIKA

Yulia Irvani Dewi

Misrawati”

Sumber:  Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Riau

 

Tinggalkan komentar