Edisi Khusus Bahana

INI berawal dari diskusi ringan. Akhir November 2010, Bahana kedatangan tamu; Agun Zulfaira, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Riau, dan Samin, dari Yayasan Peneliti Korban Persitiwa 65/66. Saat itu, muncul isu, bahwa Soeharto akan diangkat jadi pahlawan nasional. Tentu isu ini kontroversi. Hasilnya, Bahana akan taja diskusi soal Soeharto. Namun, Soeharto tak jadi pahlawan.

Foto bersama usai diskusi akhir tahun Bahana bertajuk; Menilik Kemiskinan Kota. Foto oleh Aang AS.

Beberapa hari setelahnya, Agun dan Samin kembali berkunjung. Niat untuk buat diskusi tentu masih ada. Akhirnya disepakati diskusi soal kemiskinan kota Pekanbaru. Diskusi berlangsung 9 Desember 2010. Ini kerjasama Bahana dan SRMI Riau.

Diskusi menghadirkan tiga pembicara; Edyanus Herman Halim, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau. Mardianto Manan, penulis buku Kata Kato Kota Kita tentang kota Pekanbaru. Ia sering menulis soal tata ruang kota Pekanbaru. Lalu, Agun Zulfaira. Diskusi hadirkan beberapa organisasi mahasiswa, baik internal dan eksternal. Juga dihadiri beberapa lembaga swadaya masyarakat.

Edyanus menyinggung soal penyediaan air bersih di Pekanbaru yang tak lebih dari 20 persen. Lalu mardianto melihat tata ruang di Pekanbaru juga faktor penghambat pengentasan kemiskinan. Agun lebih mengkritisi soal data BPS. Menurunya, data BPS bisa mengurangi angka kemiskinan secara statistik. “14 kriteria BPS itu tak masuk akal,” kata Agun. Menurut Agun, angka statistic BPS tak bisa jadi patokan untuk melihat kemiskinan sesungguhnya di lingkungan masyarakat.

Hampir dua jam diskusi. Sesi diskusi juga diisi penampilan musik dari Akademi Rakyat (Akar). Ada tiga lagu mereka nyanyikan. Salah satunya berjudul Surat Buat Wakil Rakyat ciptaan Iwan Fals. Kegiatan ini kami sebut; diskusi akhir tahun Bahaha.

Bahana tentu punya kepentingan ditajanya diskusi ini. Yakni, jadi pemahaman awal sebelum lakukan reportase di lapangan. Tentu melihat realitas kemiskinan di kota Pekanbaru. Ditengah pertumbuhan ekonomi; 8,81 persen. Tahun 2009 memiliki angka kemiskinan 3,33 persen. Tapi apakah dua fenomena itu; pertumbuhan ekonomi dan angka statistik berpengaruh nyata pada rakyat miskin di kota Bertuah ini.

Dua hari usai diskusi, Bahana langsung reportase lapangan melihat warna-warni kehidupan masyarakat miskin di Pekanbaru. Banyak yang ditemui. Salah satunya, sulit mencari orang miskin sesuai kriteria BPS. Lalu pergelutan petani dengan tengkulak. Cerita tarik ulur pedagang jagung di depan Purna MTQ. Sampai bantuan, yang kata Edyanus hanya charity atau sedekah. Hanya berikan uang tunai, tanpa ada pendampingan, dan jaminan produk si miskin.

Hampir dua bulan reportase lapangan. Bahana ingin merefleksi, bagaimana menyelesaikan persoalan miskin di Pekanbaru. Tentu ini tidak mudah bagi Bahana, dari 12 kecamatan hanya beberapa kecamatan Bahana datangi; Tenayan Raya, Rumbai dan Rumbai Pesisir, Senapelan, Lima Puluh dan Sail.

Pembaca setia,
Edisi khusus awal tahun ini angkat satu tema, dari halaman awal hingga akhir. Edisi kali ini Bahana kaji soal kemiskinan kota. Ditulisan pertama kami paparkan cerita reportase lapangan soal kehidupan masyarakat miskin kota Pekanbaru. Soal jalan belum ada aspal, rumah masih kayu, rakyat makan sekali sehari, kerja serabutan, banyak pengemis, pemulung, pengamen jalanan, dan seterusnya.

Selain itu, Bahana juga kaji soal data kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS) versus realita kemiskinan serta pertumbuhan ekonomi di lapangan. Lalu sedikit menilik program Pemko entaskan kemiskinan. Laporan ini dikerjakan sebuah tim, terdiri dari Made Ali, Aang Ananda Suherman, Lovina, dan Ahlul Fadli. Penulis naskah Aang dan Made Ali. Akhirnya edis ini, Bahana sebut Edisi Khusus Kajian Kemiskinan Kota Pekanbaru, sampai di truang baca Anda. Selamat membaca!  (redaksi)

Tinggalkan komentar