Sinar Redup Ruh Universitas

Oleh Lovina

Nuh minta kualitas dosen UR ditingkatkan. Dosen adalah ruh universitas. Ibarat lampu, dayanya harus ditambah. Ia benar.
Harusnya UR bisa lebih bersinar.

KEDATANGAN Muhammad Nuh ke rektorat Universitas Riau (UR), Selasa (24/8), menyedot perhatian UR. Dua jam sebelum Nuh injakkan kaki di rektorat, para pejabat kampus sudah berkerumun di lantai 4 rektorat.

Dosen UR saat menghadiri pelantikan rektor. Mereka ruh universitas, dituntut tingkatkan kualitas. Foto Oleh Aang AS.

Pukul 10.10, Nuh tiba. Ini kali kedua ia ke UR. Kunjungan pertama awal Junuari lalu. Saat itu ia tengah sosialisasi program kerja. Kunjungan kali ini lebih istimewa, terutama bagi Ashaluddin Jalil. Sebab, hari itu, Nuh datang khusus melantik Ashaluddin sebagai rektor UR.

Begitu Nuh tiba, prosesi pelantikan langsung dimulai. Pukul 10.28, Nuh mengambil sumpah jabatan. Ia lalu melantik Ashaluddin, dilanjutkan pengalungan kalung jabatan pertanda Ashaluddin resmi mengemban jabatan rektor empat tahun ke depan.

Nuh lalu memberi kata sambutan. Ia menyinggung siapa saja pendiri Universitas Riau—Kaharuddin Nasution, Datuk Wan Abdurahman, Soeman HS, dan Sutan Badriah. “Jangan sampai Rektor UR tak tahu pendiri universitasnya,” sindir Nuh diiringi gelak tawa hadirin.

Pada kesempatan itu, Nuh beri pernyataan soal UR. Ia minta UR tingkatkan kualifikasi dan kompetensi dosen. “Bukan berarti stadion atau auditorium tak penting, itu perlu. Tapi yang jadi ruh sebuah universitas terletak pada kualitas dosen,” ujarnya. Nuh memaparkan, dari 1019 jumlah dosen UR, baru 9,8 persen bergelar doktor. “Idealnya 20 persen.”

Lalu soal pengabdian dosen ke masyarakat. “Tri dharma perguruan tinggi diterjemahkan bukan semata akademik, tapi ada penelitian dan pengabdian masyarakat.” Menurutnya, dosen UR yang melakukan pengabdian masyarakat masih minim. Terakhir, ia beri masukan agar UR jangan bertambah redup seiring peningkatan posisinya.

DATA Badan Kerjasama dan Pengembangan (BKP) UR menyebutkan, tahun 2010, dari 1059 jumlah dosen, 92 orang sedang kuliah S-3. “Ini baru data sementara. Dari FKIP banyak belum masuk,” ujar Anhar, Sekretaris BKP. Jadi sekitar 8,6 persen dosen UR sedang kuliah S-3. Sementara jumlah dosen yang bergelar doktor di UR, 131 orang (12,3 persen).

Angka ini agak beda dengan yang disebut Nuh. “Setahu saya memang sudah meningkat. Mungkin yang disampaikan Pak Menteri itu data 2009,” kata Saryono, guru besar FMIPA.

Namun semua sepakat, angka itu tergolong kecil. Seperti kata Nuh, idealnya 20 persen. “Tapi saya optimis empat tahun ke depan bisa tercapai,” lanjut Saryono. Firdaus LN, guru besar FKIP agak pesimis. “Harus betul-betul digesa.” Menurut kaca mata Usman Tang, guru besar Faperika, “Kalau dibanding universitas lain yang setara, gerak kita termasuk lambat.”

Ada beberapa penyebabnya. Usman Pato, guru besar Faperta menilai dosen itu sendiri kurang motivasi. “Mengapa begitu? Rata-rata sudah berumur,” lanjut Syaiful Bahri, Dekan FT. Dampaknya lagi, lanjut Syaiful, kalaupun disekolahkan, sebentar saja sudah pensiun. “Sedikit waktu mengabdi untuk universitas.”

Penyebab lain, kata Usman Pato, dari segi dana. “Beasiswa kurang.” Namun Adnan Kasry, guru besar Faperika memandang beasiswa sudah banyak tersedia. “Masalahnya, mau tidak mereka meninggalkan keluarga.”

Bustari Hasan, guru besar dan dekan Faperika sepakat dengan Adnan. “Tapi lihat juga penguasaan bahasa asingnya. Ini juga jadi kendala.” Penyebab lain, menurut Bustari, ada pada manajemen internal. “Harus ada perjanjian. Dosen yang direkrut, tiga tahun ke depan harus siap sekolah S-3.”
“Ya, perlu dilakukan perbaikan,” simpul Saryono menanggapi hal ini.

Bukan berarti stadion atau
auditorium tak penting, itu perlu. Tapi yang jadi ruh sebuah universitas terletak pada kualitas dosen.

M. Nuh, Menteri Pendidikan Nasional. Foto Oleh Ari MS.

PENGABDIAN dosen ke masyarakat juga jadi soal. Nuh menyatakan masih minim. “Untuk tahun 2010, ada 13 judul yang dapat dana Dikti,” lapor Zulkarnaini, Kepala Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM). Usman Pato sepakat dengan Nuh. “Masih kurang. Ada beberapa penyebabnya.” Pertama, menurutnya, faktor malas. Faktor lain, dana penelitian kecil, tak tahu format proposal yang baik, dan kum dari pusat untuk pengabdian hanya berjumlah satu.

Dosen dan guru besar lain yang BM temui menampik soal minim pengabdian masyarakat. “Tak semua bidang ilmu bisa diabdikan,” kata Syaiful. “Paling banyak pertanian dan perikanan, ada juga teknik kimia,” sambung Usman Tang. Firdaus LN punya alasan beda. “Sebetulnya banyak dosen yang melakukan pengabdian, tapi tak semua melapor. Itu yang harus dievaluasi.”

Zulkarnaini yang juga guru besar Faperika sepakat soal kum. “Dosen-dosen jadi berpikir, kumnya cuma satu aja sudah bisa naik pangkat. Ya udah, jadi malas.” Namun ia tak sepakat soal kecilnya dana pengabdian. Sumber dana, lanjut Zulkarnaini, banyak. Ada dari DIPA, Dikti, KKN tematik, dan dana mandiri. “Tapi pengelolaannya belum otonomi.”

Sementara untuk hasil penelitian yang diabdikan ke masyarakat diakui Zulkarnaini masih kurang. “Penelitian untuk aplikasi masih 25 persen, sedangkan penelitian untuk teori 75 persen,” terang Usman Tang. Menurut Usman Pato, ini disebabkan kurang koordinasi antara LPM dan Lembaga Penelitian (Lemlit). “Sudah banyak universitas lain yang menyatukan LPM dan Lemlit jadi LPPM.” Penyebab lain, bagi Usman Pato, hasil penelitian yang diabdikan ini belum terdata dengan baik.

Adnan Kasry menegaskan perguruan tinggi harus bekerjasama dengan dunia industri. “Jadi hasil penelitian lebih mudah mendapat tempat pengaplikasian.” Sedangkan Ali Yusri, Dekan FISIP menilai harus ada perubahan mindset. “Lakukan penelitian skala regional.”

Saryono berpikiran beda. Baginya, harus jelas dulu tolak ukur pengabdiannya. “Kalau yang dimaksud pengabdian itu harus turun ke desa dan terdata oleh lembaga, pasti akan minim. Tapi kalau pengabdiannya pada konteks orang yang memberikan ilmu buat masyarakat luas, saya rasa dosen kita lumayan banyak yang sudah melakukannya.”

Prof Ashaluddin Jalil, Rektor Univ. Riau. Foto Oleh Ari MS.

Mereka lebih memilih berada di rumah daripada melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3.

ADA BANYAK alasan dosen belum lanjutkan pendidikan S-3. Mashur, dosen FKIP, terikat tanggung jawab. “Saya harus ngurus UP2B.” Alasan sama dikemukakan Elmustian Rahman, juga dosen FKIP. “Keuangan tak ada masalah. Saya terkendala waktu, banyak yang harus diselesaikan.” Ia bertanggung jawab membina Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (P2KK).

Keduanya mengaku akan langsung lanjut sekolah bila tak menjabat lagi. “Sejak selesai S-2 tahun 2000, saya mau langsung S-3. Tapi kalah saing dapatkan beasiswa,” kata Mashur. Ia bertekad kuliah keluar negeri. “Saya kan bidang Bahasa Inggris, kalau dalam negeri rasanya kurang mantap.” Ia sempat tes beasiswa luar negeri, tapi tak lolos. “Kalau keluar negeri, dosen kita banyak tak mampu. Toefl-nya tinggi. Tapi dalam negeri juga banyak saingannya,” jelasnya.

Syafrinal, dosen Faperta, sudah lebih dulu melakukan apa yang diniatkan Mashur dan Elmustian. “Saya sudah lulus di Unpad.” Sejak 18 tahun lalu, Syafrinal sudah selesai S-2. “Niat saya lanjut sekolah selalu terkendala kesibukan. Awalnya mengelola ekstensi, lalu PD II, terakhir memimpin universitas terbuka. Sekarang semua sudah lepas. Jadi bisa fokus lanjut sekolah,” terang Syafrinal.

Berbeda dengan mereka, Fifi Puspita, dosen Faperta terkendala soal keluarga. “Malas tidak, semangat kendor juga tidak. Buktinya sampai sekarang saya masih melakukan riset.” Ia tegaskan, ini murni soal keluarga. “Siapa yang mengurus anak kalau saya tetap ego kuliah S-3? Anak saya masih kecil.”

Fifi salah satu dosen yang paling sering melakukan riset. Namanya kerap kali ‘nangkring’ di Lemlit maupun LPM. Ia sering dapat bantuan dana dari pemerintah. “Saya juga tak ngerti mengapa minim dosen meneliti. Mungkin terkendala di persaingan mendapatkan dana, apalagi bila penelitian berwujud terapan,” duganya.

Ia meyakinkan, tak sulit dapat dana penelitian. Kuncinya, ujar Fifi, penelitian mudah dan murah diterapkan di masyarakat. “Kalau bisa bahan bakunya sudah tersedia di masyarakat.”

PADA dasarnya semua sepakat dengan kritik Nuh. Semua mengakui jumlah dan kualitas dosen S-3 masih rendah dan dosen yang mengabdikan diri ke masyarakat masih minim. Bagi Ashaluddin, ini bukan soal dana. “Kebanyakan dosen enggan merantau ke daerah lain untuk menuntut ilmu. Mereka lebih memilih berada di rumah daripada melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3,” ujarnya. “Yang jelas S-3 ini harus digesa,” kata Usman Pato.

Untuk menggesanya, saran Syaiful Bahri, manajemen harus diperbaiki. “Buat direktorat khusus di mana semua rektor dan dekan bisa berkumpul sehingga jalur koordinasi lebih mudah.”

Adnan Kasry berbeda pandangan. Baginya, untuk membenahi semua itu, rektor harus lebih berperan. “Jangan banyak keluar kota. Mengambil kebijakan jadi banyak tertunda.” Solusi lain dari Adnan, harus ada gerakan massal seluruh dosen, mahasiswa, dan pegawai untuk berubah. Terakhir, ia sarankan benahi tradisi ilmiah. “Dosen tak datang tepat waktu dan pulang sesuka hatinya. Tiba di kampus tak tahu apa yang mau dikerjakan. Bagaimana mau meneliti?”

Saryono menyimpulkan, UR perlu tingkatkan kualitas penelitian, terutama berwujud pengabdian masyarakat. “Supaya atmosfer akademik lebih greget.”

NUH benar. UR harusnya lebih bersinar seiring prestasinya meraih peringkat 27 se-Indonesia versi webometrics. “Lampu 100 watt di ketinggian 1 meter bisa menerangi areal tertentu. Jika ketinggian lampu dinaikkan, tentu areal yang diterangi semakin gelap. Bagaimana bisa kembali terang? Daya lampu perlu ditambah. UR pun harus begitu. Ibarat lampu, dayanya harus ditambah agar bisa diterima masyarakat luas,” kata Nuh sebelum mengakhiri pidatonya saat pelantikan rektor. (aang)

TABEL

Data Sementara Dosen S-3 Tahun 2010

Fakultas

Jumlah (Orang)

S-3 (Orang)

S-2 sedang S-3 (Orang)

FISIP

FE

FMIPA

FT

Faperta

Faperika

FK

FH

FKIP

96

154

162

153

116

120

54

28

176

9

16

30

12

19

31

1

1

12

8

30

17

15

12

9

0

1

0

Sumber: Badan Kerjasama dan Pengembangan Universitas Riau

 

Tinggalkan komentar