Emak Si Penipu Terbaik

“ICHAAAAAA!!” teriak wanita renta dari dapur. Tiap pagi ia tak pernah absen teriak memanggil anak tunggalnya. Mulutnya selalu nyerocos untuk hal yang aku rasa tidak terlalu penting. Dia adalah emakku. Walau menjengkelkan, ia emakku tersayang. Ia selalu membentak saat aku salah dan mengajarkan aku jadi anak perfeksionis. Ia single parent, bekerja sebagai tukang cuci di rumah Pak Mansur,  orang terkaya ketiga di kampung kami.
Sudah sangat lama Emak bekerja di rumah Pak Mansur. Dari hasil mencuci, Emak biayai kehidupan kami berdua, membayar biaya sekolah dan membeli perlengkapan lainnya.
“Mak, tolonglah izinkan aku bekerja. Mak sudah tua. Aku pun tak ingin jadi  tuan putri, sementara Emak bekerja keras untuk hidupku.” Emak hanya diam tak menjawab, terus melanjutkan aktivitas mencuci baju di rumah Pak Mansur.
“Mak, jawablah pertanyaanku Mak.” Tetap tidak ada jawaban. Aku mendengus kesal melihat sikap Emak yang selalu acuh setiap aku meminta izinnya untuk bekerja.
“Kalau Emak tidak mau mengizinkanku bekerja, aku tidak mau sekolah,” ucapku ketus, terdengar membentak. Emak melotot dengan matanya yang kuyakin sudah lama rabun. Tangannya bergetar, keringat meluncur di pelipisnya.
Brakkk..!!!
Dia hempaskan baju yang sedang dicuci di depanku. Percikan air mengenai wajahku. Aku sangat takut kalau Emak sudah marah karena ia akan menyungutku tanpa ampun. Bahkan dia juga mendiamkanku beberapa hari.
“Hei, bicara apa kau anak bodoh?” sergah Emak. Matanya melotot tajam.
“Kau pikir aku bekerja keras selama ini menyekolahkan kau, supaya kau bisa melawan kata-kataku? Kau pikir jika tak sekolah kau bisa jadi apa, hah? Kau mau seperti Emak mu ini? Sudah tua tetap jadi buruh cuci? Apa kau sudah kenal lelaki, sehingga kau seperti ini? Siapa lelaki yang meracuni otakmu?”
Emak selalu bicara seperti itu. Padahal ini tak ada hubungannya dengan lelaki manapun. Tapi Emak selalu saja menuduh aku sudah memiliki kekasih.
Aku terdiam. Tak mungkin kami harus bergantung terus dengan pekerjaan di rumah Pak Mansur. Aku harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Tapi Emak tak pernah mau mendengarkan.

“BAGAIMANA Mak?” Pak Mansur menanyakan pendapat Emak. Di Jakarta Pak Mansur memiliki saudara yang tak punya anak perempuan. Saudaranya bersedia menjagaku selama kuliah di Jakarta. “Saya bisa bantu kuliah Icha jika Emak mengizinkan,” tambah Pak Mansur. Emak hanya terdiam. Menahan tangis tanpa air mata menetes. Emak tak pernah menangis, bahkan saat Bapak meninggal. Aku berharap Emak tak mengizinkan. Sebenarnya aku ingin meneruskan cita-citaku, tapi aku tak tega meninggalkan Emak seorang diri.
“Baiklah kalau itu yang terbaik untuk Icha. Emak malah bersyukur Nak Mansur mau membantu Icha kuliah. Emak sangat berterima kasih,” jawab Emak. Bahuku bergetar mendengar percakapan mereka di ruang tengah. Aku berlari dari kamar, tempatku sedari tadi mengintip, ke arah Emak dan memeluknya.Dia hanya tersenyum.
“Bagaimana Icha? Icha maukan Bapak kuliah kan di Jakarta,” tanya Pak Mansur yang dari tadi melihatku menangis. Aku diam, bukan sengaja diam, tapi aku tidak sanggup mengatakan iya atau tidak.
“Pergilah Cha, Emak sangat bangga kalau Icha jadi orang sukses. Emak tidak terus-terusan malu punya anak pemalas sepertimu,” ucap Emak sambil tersenyum.  Emak terlalu gengsi walau hanya untuk berkata “Emak sayang Icha.”
“Ta..ta..tapi nanti Emak tinggal sendiri, tidak ada yang menjaga,” ucapku terbata. Emak kembali tersenyum.
“Emak tidak akan mengizinkan kau pulang sebelum berhasil Cha,” Emak melanjutkan.

SUDAH enam semester aku di Jakarta. Selama itu aku tak bertemu Emak. Bukan tak ingin bertemu, tapi kesibukan menuntut aku berkosentrasi terhadap tulisanku. Aku bekerja sebagai penulis. Aku bahagia karena hidupku tidak pernah putus dari kata “beruntung”, mungkin karena doa Emak yang selalu menyertaiku. Aku dikontrak untuk menulis di salah satu penerbit buku, skripsiku juga hampir selesai. Satu semester lagi gelar sarjana akan aku peroleh.
Di meja belajar, surat-surat dari Emak yang belum sempat aku balas tergeletak. Sudah sekitar 2 bulan ini aku tidak membalas surat-suratnya. Aku lupa dengan perempuan itu? Tentu tidak. Hanya saja aku terlalu sibuk, menulis surat untuk Emak, mengantarkan ke pos dan lainnya, aku tak sempat. Terakhir aku hanya membalas bahwa aku sangat sibuk untuk membalas pesan Emak. Kuharap Emak tidak sering-sering mengirimkan uang, makanan dan surat untukku lagi, karena kurasa uang tersebut lebih baik Emak gunakan untuk kepentingan Emak sendiri.

“ICHA Nurhayati, Jurusan Sastra Bahasa Indonesia, cumlaude wisuda kali ini dengan IPK 3,98 dipersilahkan memberikan sambutan,” suara MC mengalihkan lamunanku.
Berdiri di depan menyampaikan pidato, mataku menangkap sesosok perempuan tua renta. Sedari tadi memandang haru ke arahku, di sampingnya seorang lelaki paruh baya. Dia, Emak dan Pak Mansur.
“Aku sangat beruntung lahir di dunia ini. Memiliki semua yang aku punya. Pertama aku sangat berterima kasih kepada Allah SWT yang telah melimpahkan semua anugerah-Nya kepadaku. Dengan cinta teramat banyak dan segala nikmat yang tidak pernah cukup jika dihitung dengan mesin tercanggih sekalipun. Tetapi semua itu sangat tidak berharga jika saja aku tidak lahir dari rahim perempuan itu.” Aku menunjuk Emak. Semua orang menatap kepada perempuan itu.
“Ia Emakku, perempuan yang sangat luar biasa. Berkat kasih sayangnya, aku jadi seperti ini. Ia adalah Emak sekaligus ayah serta sahabatku. Jika kalian mengira aku terlahir dengan kesempurnaan, lihatlah perempuan itu. Perempuan itu yang menjadikan aku sebagai anak yang sempurna seperti sekarang.” Aku tersenyum ke arah Emak.
Dia, hanya tersenyum, tapi tunggu… Dia menangis? Emak menangis? Aku menggerakkan kaki melangkah lebih cepat ke arah Emak. Aku menangis di pelukannya, kupeluk tubuhnya, kucium pucuk kepalanya. Aku merindukannya… Aku merindukan Emak.
“Ini hadiah untuk Emak. Walaupun terlambat sebagai hadiah Hari Ibu, tapi wisuda dan kelulusanku, ku persembahkan untuk Emak. Tak bisa ku jelaskan betapa besar dan tak terbalaskannya jasamu.” Emak hanya tersenyum. Air mata mengalir di pipi keriputnya. Kali ini ia tak menangis karena aku menyakitinya, tapi karena terharu.
Emak… Maafkan aku yang membuat Emak kesusahan sejak kecil, bekerja untukku, tidur Emak terganggu karena tangisanku malam hari. Sering membantah dan menyakiti hatimu. Tidak pernah mengerti jika engkau sedang tidak punya uang, sedang kelelahan atau sedang dalam masa sulit.
Maafkan aku karena membuat air mata Emak terjatuh. Emak, jadilah Emakku selamanya. Bagiku Emak lebih besar dari segalanya, lebih kuat dari siapapun. Aku sangat bangga memilikimu dengan cinta dan doa yang selalu mendukungku. Maafkan aku yang tidak sopan selama ini. Kau masih punya satu pekerjaan lagi yang tersisa. Dan itu adalah menerima cinta dan rasa hormat anakmu. Aku mencintainya dengan segenap  jiwaku… Untukmu… Icha sayang Emak.
Icha kembali ke depan membawa Emak. Ia membacakan sebuah puisi untuk Emak di depan seluruh wi-sudawan dan para orang tua yang hadir saat itu.

Emak, sebuah kata yang amat sederhana namun maknanya begitu besar
Emak, satu kata yang mewakili perasaan terhadap seorang perempuan hebat yang pernah ada
Emak, seperti cinta sejati yang tidak bisa dideskripsikan dalam hati
Emak, mengerti setiap kasih sayang tidak diucapkan
Emak, merindu tanpa dikatakan “Emak aku merindukanmu”
Emak, tersenyum ketika lelah…

Emak, bersabar ketika anak menuntut banyak
Emak penipu yang selalu mengatakan iya jika terluka
Mengatakan tidak kepada hal yang membahayakan kita
Emak ingin memeluk walaupun kadang gengsi dengan anaknya sendiri
Emak penipu!
Penipu terbaik yang selalu ada dalam hidupku
Berlagak teguh padahal rapuh
Berlagak kaya padahal tak punya uang untuk melengkapi kebutuhanku
Tapi aku tidak peduli
Aku mencintai Emakku…
Ya… Aku mencintai penipu itu.#

Ismalaili
Administrasi Negara FISIP ‘11

Tinggalkan komentar