Tek… Tek…

TEK… TEK… Bunyi jam dinding ruang rapat Sekretariat Bahana malam itu. Kru kelelahan dengan ‘makanan sehari-hari’—riset, wawancara, analisis dan menulis. Rabu, 13 Oktober 2010, pukul 23.45. Made, Aang, dan Gio membaringkan badan. Kami tertidur.

Lepas penat. Kimteng Puswil Soeman HS jadi alternatif tempat diskusi

Tidur cepat malam itu emang disengaja. Esok, Kamis, 14 Oktober 2010, tepat pukul 10.00 pagi, ada janji wawancara dengan Suayatno, Wakil Bupati Bengkalis, di Bengkalis. Ia juga alumni FKIP Universitas Riau. Tepat waktu adalah standar kami di Bahana.

Tengah malam berlalu. Jam dinding ruang rapat menunjuk angka 02.10 subuh. Amoy bangunkan kami. “Udah jam dua, ayo berangkat,” kata Amoy. Cuci muka. Ambil tas pakaian, termos nasi, galon air, serta lauk pauk yang kami masak tadi sore. “Irit pengeluaran,” alasan Amoy.

Semua siap. Aang ambil kemudi Avanza silver yang kami sewa selama dua hari. Kami tinggalkan sekretariat Bahana tepat pukul 02.30. Kantuk kami lawan.

Beragam genre musik sengaja kami stel temani perjalanan. Mulai slow rock, disco, sampai dangdut. “Gile-gile kerja kite ni,” kata Made. Jika berpikir lazim, emang gila. Tapi ini bagian dari perjuangan. Tanggung jawab tetap sebuah hal yang harus ditunaikan.

Sembari bermusik, diskusi ngalor-ngidul pun hadir. Hilangkan ngantuk, itu pasti. Mulai soal Bahana, kampus, politik, ekonomi, budaya, bahkan gosip seputar selebritis pun dibahas.

Tak terasa, 45 menit berlalu. Kami tiba di Kabupaten Pelalawan. Mobil terus melaju ke arah Siak. “Ah… jelek kali jalannya.” Semua mengeluh. Kecepatan mobil terpaksa dikurangi. “Masa memperbaiki jalan saja pemerintah gak bisa. Padahal Riau daerah kaya,” kata Made. “Ya begitulah,” balas Gio.

Pukul 04.30, kesunyian kota Siak menyapa. Mobil melintasi jembatan Sultanah Agung Latifah. Sultanah Latifah, istri Sultan Siak ke-12. Kami sempat tersesat sejauh 500 meter sebelum tiba di Bunga Raya, desa pertama setelah Siak menuju Sungai Pakning.

Tiba di sebuah mesjid desa Bunga Raya. Bersihkan muka, sholat, lalu bremm… Udara segar bersemilir masuk ke dalam mobil. Pukul 07.15 kami tiba di Sungai Pakning, Bengkalis. Cari mesjid lalu mandi. Usai mandi, hasil riset tentang Suayatno didiskusikan kembali. “Jangan sampai mengulang pertanyaan yang udah ada. Itu gunanya riset,” kata Made. Bagi kru Bahana, riset sangat penting. Mengulang apa yang sudah dimuat di koran, itu dilarang. “Kita harus menemukan cerita yang belum dimuat di koran, dan mendapatkan angle baru,” lanjut Made.

Pukul 09.00 mobil masuk antrian kapal Roro. Sembari antri, perut kami isi. “Enak juga masakan kita, bisa lah buka catering,” kata Amoy.

Setengah jam, tiba di Kota Bengkalis. Pukul 09.50, mobil masuk parkiran kantor Bupati. “Bapak lagi ada acara pelepasan jemaah calon haji di Balai Cik Puan,” kata satpam yang bertugas di pintu masuk. Kami menyusul ke Balai Cik Puan. “Ayo ke kantor aja,” kata Suayatno.

Satu jam wawancara. Perjuangan hidup Suayatno jadi bahan renungan di benak kami. Ia seorang anak petani di Pematang Siantar dan jadi Wakil Bupati di Bengkalis. Sepuluh tahun jadi kepala sekolah dan akhirnya terjun ke dunia politik. “Hidup itu memang penuh perjuangan.” Kami memaknai itu.

Sesuai tradisi. Pergi ke suatu daerah, harus bawa liputan menarik. Desa Meskom jadi tujuan. Jaraknya sekitar 20 kilometer ke arah selatan Kota Bengkalis. Desa itu kental dengan seni Zapin. Yazid, sang maestro Zapin, lahir di sana.

Tapi, Septemeber 2010 lalu, desa itu ditinggalkan oleh sang maestro untuk selamanya. Satu pertanyaan menggelayuti otak kami. Seberapa kehilangan warga Meskom sejak kepergian Yazid? “Sangat kehillangan lah kami. Die tu kan guru kami, tempat kami mengadu soal Zapin. Kini nak kemane lagi,” kata Zainuddin, saudara Yazid, juga pengajar Zapin Meskom. Selain Zainuddin, beberapa warga Meskom juga diwawancarai. Kami menemukan semangat warga Meskom kembangkan seni tari Zapin.

Gelap mulai merayap di kota Bengkalis. Lelah, pasti. Kami singgah di warung kaki lima di pinggir jalan kota Bengkalis. Bandrek dan martabak cukup mengembalikan kondisi tubuh.

Kembali ke pelabuhan. Kapal berangkat pukul 19.45. Pukul 20.30, kembali tiba di Sungai Pakning. Mobil terus melaju. Di tengah perjalanan, rasa kantuk benar-benar tak bisa ditahan. Kami tertidur. Termasuk Aang. Setengah jam, Made tersentak.

“Eh dimana ini?” tanya Made.

Semua bangun. Suasana gelap dan hening. Kira-kanan semak ilalang.

“Gak tau, aku dah ngantuk kali tadi, makanya aku berhentikan aja mobil,” kata Aang.

“Sie sie kerje kau Ang, sempat ada perampok, digorok lah leher kite ni,” kata Made.

Mobil jalan dengan musik yang hampir lima kali diulang. Pukul 22.00, tiba di Siak. Kami istirahat di Mesjid Raya. Mesjid jadi tempat favorit kru Bahana jika sedang liputan ke luar daerah.

Kembali ke jalan. Kedai persinggahan di Pelalawan, kami istirahat kembali. Baru pukul 05.00 subuh kami lanjutkan perjalanan. Pukul 07.00 kami tiba di Pekanbaru. Pagi itu, ruang rapat sekretariat Bahana jadi tempat ternyaman istirahat. Kami tidur hingga adzan shalat Jumat bergema. Siangnya, ‘makanan rutin’ kembali dilahap; riset, wawancara, analisis dan menulis.

Beragam cerita, jika menilik tugas keredaksian kru Bahana. Edisi kali ini, kru Bahana berjuang merekonstruksi cerita di balik  pemilihan Dekan Faperika, yang menyebabkan Bustari, Dekan terpilih saat, hingga kini belum dilantik. Rekonstruksi bagaimana lobi-lobi jabatan terjadi. Ini butuh kerja keras, “Kroscek sana-kroscek sini, capek juga,” kata Amoy. Benar, verifikasi berguna untuk dapatkan fakta yang ‘suci’.

Kendala muncul. Ada yang tak mau ngomong, sulitnya dapatkan dokumen, sampai ada kru yang dicemeeh. “Ngapain lah kalian ngurus hal beginian, banyak lagi hal lain.” Tapi kami sadar, ini harus diberitakan. Civitas akademika harus tahu, politik seperti ini tak etis hidup di kampus.

Bahan tulisan siap. Editan tuntas. Lalu? Ya… layout. Urusan ini, Ari jadi ‘tumbal’. Duduk berlama-lama di kursi, membelalak ke monitor. “Ada kunci aman untuk duduk lama,” kata Ari. “Bantal harus diletakkan di atas kursi dan banyak minum air putih. Agar tak ambeyen, he…”

Juli 2010. Bahana terbitkan Laporan Utama (Laput); Berebut Kekuasaan Himagrotek. Konflik politik ini terjadi di Faperta. Aang, yang juga mahasiswa Pertanian terlibat di kasus itu. Tentu hasil terbitan akan terpengaruh, mengingat Aang juga kru Bahana? Bahana punya mekanisme untuk kasus beginian. Aang, khusus di rubrik Laput, dinon-aktifkan dari tugas keredaksian. Ini terkait independensi.

Independensi dari etnis juga jadi kekayaan Bahana. Pluralitas bikin Bahana berwarna. Made berasal dari suku Bugis, Sulawesi. Amoy keturunan etnis Tionghoa. Ari asal Tembilahan, keturunan suku Banjar. Erliana campuran Batak dan Jawa. Gio dari ranah Minang. Fadli orang Melayu asal Kampar, dan Aang Melayu asal Kuansing. “Perbedaan itu indah lho,” kata Fadli.

Meski suku beragam, komitmen Bahana terhadap budaya melayu terus hidup. Ada rubrik Khasanah dan Kilas Balik di tiap terbitan. Ada juga Sajian Budaya, khusus edisi majalah. Kekayaan budaya dan sejarah kemelayuan setia kami buru. Satu yang pasti, jangan sampai Melayu hilang di bumi.

Melahirkan terbitan, jadi indikator eksistensi. Sepuluh tabloid dan satu majalah bukti eksistensi Bahana di tahun 2010. Bicara eksistensi, tak cukup terbitan. Hari ke hari, kreatifitas untuk melahirkan sebuah karya terus dipacu. Ini pembuktian; Bahana tak melulu urusan cetak.

Akhir Mei 2010, Bahana berhasil taja Diklat Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Lanjut (DJMTL) se-Sumatera. Beberapa aktivis pers mahasiswa, dari Aceh hingga Lampung kami kumpulkan. Budi Setiyono dan Basilius Triharyanto, wartawan Pantau Jakarta, jadi pemateri.

Sebelumnya, Maret 2010, Bahana juga laksanakan workshop menulis. Kegiatan ini kerjasama Eka Tjipta Foundation (ETF) dan Bahana. Kegiatan diampu Andreas Harsono dan Chik Rini. Mereka juga wartawan Pantau. Ada yang kami senangi dari metode Pantau. Mereka kenalkan genre baru; menulis narasi. Gaya penulisan yang panjang, dalam dan terasa. Pantau patuh pada kaidah jurnalisme sesungguhnya, yang tertuang dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

Ini pemicu semangat, bahwa Bahana harus melahirkan karya jurnalistik bermutu sesuai kaidah jurnalisme sesungguhnya. “Kami ingin semua pers mahasiswa mengikuti hal serupa.”

Eksistensi kembali ditunjukkan. Lahirnya buku Secuil Kisah 26 Alumni Bahana jadi bukti. Kurun enam bulan pengerjaan, kami sadar sudah selayaknya ini diterbitkan. Mereka sudah berkiprah di bidangnya. Dipetiknya nilai tauladan dari apa yang kami tulis, tujuan diterbitkannya buku ini.

Eksisnya Bahana hingga 27 tahun, tak lepas dari tempaan-tempaan ‘keras’ berproses di Bahana. Nilai-nilai integritas; kejujuran, loyalitas dan militansi selalu dikedepankan. Kru Bahana harus bisa bagi waktu, antara tugas kuliah dan Bahana. Harus bisa selalu berpikir kreatif dan kritis. Nilai-nilai itu kami asah selama di Bahana; bangun tidur hingga tidur lagi.

Pentingnya pengembangan sumber daya kru, selalu jadi perhatian. Erli dikirim ikut pelatihan jurnalistik lanjutan di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Teknokra, Universitas Lampung. “Tanpa Bahana mungkin aku tak bisa seperti ini,” kata Erli. Kesadaran mendapatkan ilmu, harus ditransformasikan pada tiap kru. Curahan kreatifitas selalu dituntut. Itulah pengabdian.

Suatu malam bulan Oktober 2010. Tek… Lampu padam. Seluruh kru kumpul di meja depan sekretariat Bahana. Bunyi gitar petikan Fadli iringi pembicaraan ringan kami. Senda gurau akrab malam itu. Sampai pada bahasan cita-cita. Ada yang ingin jadi wartawan, pengusaha, penulis, dosen, advokat, dan sukses dunia akhirat. Akankah dari Bahana cita-cita mulia itu akan terwujud? Tek… lampu kembali nyala. Rutinitas menulis kembali dilakoni. (redaksi)***

Tinggalkan komentar