Pertumbuhan Ekonomi, Statistik dan Orang Miskin

Oleh Aang AS

JALAN ASPAL HABIS. Tiga kilometer berikutnya jalan tanah campur batu. Kalau hujan jalan licin. Tanaman ilalang dan ubi memagari badan jalan itu. Ada juga melewati jembatan kayu. Di bawahnya aliran air. Anak-anak banyak yang mandi, ada juga yang nyuci sepeda motor.

Drs Ruslan, Kepala BPS Kota Pekanbaru. Foto Istimewa.

“Kami di sini hanya mensuplai data, yang menentukan miskin tidaknya itu pusat. Mereka yang punya metode hitung.”

Drs Ruslan, Kepala BPS Kota Pekanbaru

Saya sampai di Desa Seroja Indah, Kelurahan Kulim Atas, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru. Masyarakat di sini kebanyakan petani. Ada petani semangka, cabai, sampai sawit. “Kebanyakan lahan orang lain yang dikelola,” kata Arif, seorang petani semangka. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekanbaru tahun 2008, Tenayan Raya penyumbang terbanyak rumah tangga miskin; 3.033. Dari total 17.389 rumah tangga miskin tersebar di 12 kecamatan di Pekanbaru.

Budiono, warga petani Seroja Indah, bagi cerita soal rancunya data yang digunakan pemerintah dalam memberikan bantuan pada petani. Contoh, kata Budiono, program pemberantasan rakyat miskin (Taskin). “Program ini tidak tepat sasaran.” Menurutnya orang hidupnya layak, ada juga dapat bantuan, “Mungkin karena pemerintah mengacu pada data BPS.”

Soal data, kata Wibowo, ketua RT, memang membingungkan. “Kita kadang sudah mendata dan serahkan, tapi nanti ada juga yang keliru. Sehingga masyarakat curiga soal bantuan yang tidak tepat sasaran.”

Marzaleni juga mengeluh. Ia ketua RT 02 RW 01, Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Senapelan. Menurutnya, program beras miskin (Raskin) tidak tepat sasaran. “Pemerintah menyalurkan sesuai data BPS. Ada yang dapat, tapi orangnya berkecukupan,” kata Marzaleni.

Menurut Marzaleni, “Biarpun rumah warga di sini banyak yang kayu, tapi penghasilan mereka di atas satu juta.” Merujuk 14 kriteria BPS, secara pendapatan tak lagi miskin. Dulu Marzaleni pernah menanyakan bantuan raskin pada kecamatan. “Tapi orangnya menjawab itu wewenang bulog, bukan camat.”

Pemukiman pemulung, akrab disebut Petak 40. Terletak di Kecamatan Tampan. Ada juga warga yang belum pernah dapat bantuan. Ia Harianja. Ia ngontrak di Petak 40 sejak tujuh tahun silam. Per bulan, dari hasil pulungannya ia bisa dapat Rp 750 ribu. Ia tinggal bersama tiga anak dan satu istri. “Kalau pendapatan begini ya tidak cukuplah.” Sejak ia tinggal di sana, Harianja belum pernah tersentuh raskin, atau program bantuan lainnya. “Gak tahu, mungkin saya tidak masuk dalam data keluarga miskin.” Secara pendapatan, Harianja di atas kriteria BPS.

Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) wilayah Riau menilai kemiskinan itu, seberapa besar kebutuhan dasar tak terpenuhi; sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesejahteraan. Agun Zulfaira, koordinator wilayah SRMI Riau, katakan acuan dasar SRMI menentukan miskin atau tidak, berbeda dengan Badan Pusat Statistik (BPS).

“BPS menetapkan penghasilan di bawah Rp 600 ribu miskin, rumah tidak layak huni dan banyak lagi lah. Kami nilai tidak masuk akal menggunakan standarisasi yang rendah. Sehingga memungkinkan banyak masyarakat miskin yang tidak terdata,” kata Agun. “Dan BPS menganggapnya mampu.”

Nah, kalo kami menilai, harus ada standar yang riil sesuai kondisi di lapangan. Misalnya penghasilan. Keluarga yang punya tiga orang anak, tentu tidak sama dengan keluarga yang punya lima anak. Maka pendapatannya tidak bisa disamakan. Pendapatan yang menjadi tolak ukur BPS harus fleksibel, jadi tidak kaku harus Rp 600 ribu.

Menurut Agun, induk persoalan kemiskinan adalah data statistik. Pemerintah mau mengeluarkan program mengacu angka statistik. Berapa jumlah masyarakat miskin, “Berapa datanya dan apa yang harus diberikan. Nah itu dari data statistik. Tentu dari BPS.” Sehingga, jika data statistik tidak bener maka kemiskinan itu tidak dapat di berantas.

Contoh, kata Agun, ternyata program yang diberikan tidak tepat pada sasaran rakyat miskin. Penting bagi kita, persoalan kemiskinan bukan angka statistik. “Kemiskinan persoalan riil di lapangan.”

Pemko, kata Agun, selalu gemborkan data skala makro. Tidak ada pendataan khusus soal pendapatan masyarakat skala mikro. “Bagi rata saja, kalau seperti itu sejahtera terus rakyat. Angka statistik tak gambarkan miskin sebenarnya. Data ini sangat berpengaruh pada citra politik penguasa.”

Pada 2008, SRMI pernah melayangkan replik kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perkara bernomor: 311/Pdt./2008/PN.JKT.PST. Replik ini diajukan dengan mekanisme gugatan warga negara kepada penyelenggara negara (Citizen Law Suit), bukan mekanisme gugatan perwakilan kelompok (Class action).

Intinya  BPS, pihak terguggat, menurut SRMI, sama sekali tak berisi argumentasi ilmiah untuk menjelaskan  tindakan yang menetapkan 14 kriteria keluarga miskin.

Dalam replik itu disebutkan, untuk memperjelas dan mempertegas 14 kriteria keluarga miskin yang ditetapkan BPS tersebut, perlu adanya pembanding konkrit. Dalam replik yang dibikin, 14 kriteria keluarga miskin yang ditetapkan BPS jelas sangat mempersempit dan mereduksi seluruh definisi miskin.

Lalu, dalam repliknya, SRMI lakukan lima detailisasi kriteria miskin. Pertama, tidak bisa memenuhi kebutuhan makanan yang sehat. Tidak bisa memenuhi kebutuhan pakaian yang layak. Tidak bisa memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Tidak bisa memenuhi kebutuhan pendidikan setidak-tidaknya sampai Sekolah Menegah Atas. “Jika satu saja tidak terpenuhi, ia dikatakan miskin,” kata Agun.

JALAN PENGHIJAUAN NOMOR 20, PEKANBARU. Kantor Badan Pusat Statistik Kota Pekanbaru pagi itu lengang. Tak banyak aktivitas. Drs. Ruslan, Kepala BPS belum datang. Pegawai masih ada yang sarapan. Ada juga tamu membolak balik buku sambil teliti melihat data.

Kantor BPS kota Pekanbaru tak begitu besar. Ada ruang kepala, ruang kepala divisi, dan dua ruang staf. Saya nyari buku Riau dalam angka 2011. Untuk melihat data, salah satunya kemiskinan kota Pekanbaru.

Saya langsung jumpai Dra. Muji Hartini. Ia Kasi Statistik Sosial. Menurutnya, BPS kota terakhir kali data rumah tangga miskin tahun 2008. “Pertama kali itu 2005, kami sih menyebutnya rumah tangga sasaran, tahun 2008 itu updatenya,” kata Muji, Kamis (20/1). “Di buku Riau dalam angka juga tak ada data kemiskinan.”

Saya dipersilahkan duduk di ruangannya. Muji cerita soal kemiskinan versi BPS gunakan 14 kriteria. Menurut Muji, jika sembilan dari 14 kriteria sudah memenuhi, dikategorikan miskin. “Terserah poin-poinnya acak. Pokoknya masuk sembilan kiteria dia miskin.”

Dari hasil survei rumah tangga miskin tahun 2008, Kecamatan Tenayan Raya penyumbang rumah tangga miskin terbanyak; 3.033 dari total rumah tangga miskin tiap kecamatan se-Pekanbaru sejumlah 17.389. Dalam situs portal Bappeda, Ruslan mengatakan tahun 2008, dengan jumlah penduduk 750 ribu, angka kemiskinan Pekanbaru 3,63 persen.

BPS punya dua data kemiskinan; makro dan mikro. “2008 itu mikro,” kata Muji. Makro dihitung mengacu pada kebutuhan dasar penduduk dan bahan pangan. Disetarakan dengan kecukupan 2.100 kalori per hari per kapita. Tapi tidak diketahui rumah tangga di kecamatan mana banyak yang miskin. Namun tiap tahun diperoleh data kemiskinan makro. “Tahun 2009, angka kemiskinan 3,3 persen dari jumlah penduduk 903.000 jiwa.”

Kalau mikro, BPS berdasarkan holistik rumah tangga. Bukan berdasarkan kebutuhan dasar tadi. Per rumah tangga didatangi. “Kita hanya dua kali melakukan mikro. 2005 untuk bantuan beras miskin (raskin) dan 2008 untuk bantuan langsung tunai (BLT) karena BBM naik. Semua itu atas instruksi presiden.” Rencana, kata Muji, akan dilakukan lagi update data rumah tangga sasaran. “Mungkin tahun ini, tapi belum tau kapan.”

Sebelum melakukan survei, ada pelatihan petugas sensus. Semua konsep dijelaskan. Tiap petugas diambil dari daerah tujuan sensus. “Agar dia mengetahui keadaan setempat,” kata Muji. “Tapi itu tak mutlak, bisa saja orang luar daerah itu, yang penting kuasai konsep.”

Survei keluarga miskin, atau keluarga sasaran, semua rumah didatangi. Terutama rekomendasi RT setempat. Tapi, jika rumah sudah bagus, “Ngapain didatangi lagi.” Ada yang bilang rumah bagus, mungkin saja ngontrak, “Kalau direkomendasikan RT, bisa saja didatangi,” kata Muji.

Soal pendapatan, memang jadi perdebatan. “Bisa saja pendapatan Rp 1 juta, tapi kriteria lain dia kena, dan cukup sembilan kriteria dia miskin.” Muji katakan, sering terjadi bantuan tak tepat sasaran. “Kadang-kadang itulah kita tidak tahu, mungkin RT tidak memasukkan ke dalam warga miskin, karena tak pernah melapor kepada RT, tidak ada KTP. Tapi kalau BPS, untuk seluruh Indonesia. Ia mewakili Indonesia. Jadi dia anggap penduduk Indonesia, di manapun berada. Pasti kita data.”

Hampir satu jam, Ruslan datang. Perbicangan dilanjutkan di ruangannya. Kami bahas soal sedikitnya angka kemiskinan karena 14 kriteria BPS. Artinya kemiskinan bisa dikurangi dengan 14 kriteria BPS. Menurut Ruslan, penetapan kriteria itu nasional, dan penghitungan di pusat itu ada spesifik karakter. “Artinya ada variabel yang tak tereasional tapi dibutuhkan, contoh air hujan.”

Kata Ruslan, di Selat Panjang dan Bagan Siapi-api curah hujan tinggi, itu ada spesifiknya. Soal lantai tanah. “Di Jawa itu banyak orang kaya lantainya tanah, jadi 14 variabel itu ada bobotnya. Orang makan sekali, dengan rumahnya tidak punya listrik, itu beda bobotnya. Pusat yang menentukan. Ada tiga kategori; miskin, hampir miskin, sangat miskin,” kata Ruslan. “Kami di sini hanya mensuplai data, yang menentukan miskin tidaknya itu pusat. Mereka yang punya metode hitung.”

Muji menambahkan, penyusunan kriteria ini sudah dari beberapa departemen. “Pemikiran orang-orang pintar.” Kalau kita, lanjut Muji, memenuhi semua keinginan tentang kriteria, tidak akan bisa. Karena ada banyak permintaan, jadi harus ada satu yang jadi patokan.

“Walau itu tidak adil tiap daerah, tapi tentu harus ada satu patokan. Karena, daerah ini begini, daerah ini begini. Wah ini susah menilainya. Menentukannya susah, butuh banyak kriteria lagi. Justru untuk mengambil kesimpulan, atau mengambil analisa jadi lebih susah.” Banyak mengeluh soal data karena tak dapat bantuan. BPS, kata Muji, tak pernah melihat orang itu punya atau tidak KTP, “Jika sudah enam bulan menetap itu dianggap penduduk setempat.”

Muchtar Ahmad, mantan Rektor Universitas Riau, mengatakan bingung soal data BPS. “Bagaimana dia menghitung. Sekarang upah minimum kita berapa, anggap Rp 1.050.000. Misal untuk lima anggota keluarga. Jadi satu orang Rp 210 ribu perbulan, perhari Rp 7 ribu, bisa ndak anda hidup di Pekanbaru ini dengan uang segitu perhari, minimal itu Rp 30 ribu sehari. Nasi ramas aja sekarang Rp 10 ribu,” kata Muchtar Ahmad.

Itu generalisasi semua. Tentu, kata Muchtar Ahmad,  biaya makan di Jawa lebih murah. “Di sana makan bisa pakai nasi kucing. Nah, di Riau mana bisa diterapkan.” Muchtar katakan, di Indonesia, menurunkan angka kemiskinan dibuat standar kemiskinan rendah. “Kalau Indonesia pakai standar pendapatan Rp 50 ribu perhari, orang miskin di Indonesia jadi 70 persen.”

Menurut Edyanus, dosen Fakultas Ekonomi UR, tak ada masalah dengan 14 kriteria BPS. “Kriteria itu kan banyak. Kriteria itu sudah baik apakah harus dikatakan jelek. Itu kriteria internasional. Data itu cocok untuk menentukan strategi kemiskinan,” kata Edyanus. Misal, katanya, paling banyak masyarakat tak dapat air bersih yang layak, jadi harus buat sentra pengembilan air bersih. “Jadikan kriteria itu untuk strategi sektor mana yang harus diperbaiki.”

Kalau untuk menyalurkan bantuan, kata Edyanus, “Jangan pakai data itu, survei sendiri, supaya tahu apa persoalan masyarakat itu.”

Soal Pertumbuhan Ekonomi
Parkir kendaraan bermotor hampir penuh. Mall SKA ramai sore itu. Pengunjung keluar masuk Hypermart. Hypemart adalah pasar modern. Pasar modern, cepat tumbuh di Pekanbaru. Di Kecamatan Tampan, kurang dari setahun, dua pasar modern muncul; Giant dan Ramayana.

Sekitaran Jalan Sudirman, juga muncul Vanholano dan Holand Bakery. Ada juga hotel The Premiere. Secara statistik, tahun 2009, pertumbuhan ekonomi kota Pekanbaru capai 8,81 persen. Terbesar disumbangkan sektor perdagangan, hotel, restoran; 9,66 persen dan sektor keuangan, persewaan, serta jasa perusahaan; 10,50 persen.

Menurut Edyanus, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau, “Dengan terbukanya pasar-pasar modern, akan ada serapan tenaga kerja. Tapi, pasar-pasar tradisional, usaha kecil makin menciut. Perlu ada pengembangan pasar tradisional secara kualitas. Perlu keberpihakan pemerintah.”

Beni, pelaku UKM, katakan pertumbuhan pasar modern yang mendorong pertumbuhan ekonomi tak terlalu signifikan bagi UMK. Beni pemilik toko Mega Rasa. Menjual beragam oleh-oleh khas daerah. Dari Riau, misal ikan salai patin, lempuk durian, bolu kemojo. “Saya mengasuh 120-an UKM, semua produk di sini milik home industry,” kata Beni.

Menurut Beni, pelaku UKM susah masuk ke pasar modern. “Regulasi dan harga sewanya mahal. Lalu barangnya juga dibatasi.” Beni pernah setengah tahun masuk di Hypermart SKA. “Tempatnya tak strategis. Space hanya sedikit. Selebihnya kan barang PT Unilever. Cek aja,” kata Beni. “Kalau PT bisa sewa lebih besar, UKM mana bisa.”

Kembali ke Hypermart. Saya sempat bertanya pada tiga petugas sales Hypermart soal letak produk UKM. Ketiganya jawab tak tahu. Saya jumpai Herry Woimbon. Ia Buyer Lokal Hypermart. Beni langsung tunjukkan space UKM. Tempatnya memang tak di depan. Tempatnya sekitar tiga kali satu setengah meter.

Herry jelaskan, “Kita tak mau mematikan UKM. Tetap kita sediakan.” Hypermart, kata Beni, punya regulasi untuk UKM. Item barang yang masuk dibatasi. “Tak mungkin dong semua masuk, tentu kita pilih yang laku saja,” kata Herry. “Untuk tempatnya, tentu kita atur, karena sejengkal di sini kan profit.”

Menurut Herwan, Direktur Eksekutif Kadin Riau, pertumbuhan ekonomi kota Pekanbaru seperti ini tak berkulitas. Pertumbuhan tak memberikan lapangan kerja baru yang layak. “Tak signifikan dengan pertumbuhan UMKM. Semu.”

Pemko, katanya harus intervensi soal ini. Memberikan pandangan mindset terhadap pertumbuhan ekonomi yang membuka lapangan kerja baru. “Jadi peningkatan ekonomi itu betul-betul gambaran dari peningkatan ekonomi masyarakat. Itu harus sektor riil. Sektor ini buka lapangan kerja baru.”

Prof Muchtar Ahmad, mantan Rektor Unniversitas Riau, katakan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi tinggi itu ekspor sawit. Tidak sinkronnya angka pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan jumlah kemiskinan, kata Muchtar Ahmad, secara teori ekonomi, soal distribusi pendapatan. “Ekonomi ada tiga kegiatan; produksi, distribusi, dan konsumsi. Masalah berat di distribusi. Pendapatan itu dapat, tapi bagaimana dengan distribusi itu, dan bagaimana pemerintah itu bisa mendistribusikan dan itu cukup adil.”

Ada ketimpangan pembagian kue ekonomi. Masyarakat itu dibagi tiga kelompok. Ibarat piramida. Paling puncak sebesar 20 persen, di tengah 40 persen dan di bawah 40 persen. “Dari 100 persen kue ekonomi, 80 persen dimakan kelompok 20 persen, “Ini pengusaha besar,” kata Prof Muchtar. “Makanya kelebihan, dan disimpan di luar negeri, tak didistribusikan, sehingga tak ada lapangan kerja baru.”

Tinggalkan komentar