“Tuah” Kota Bertuah

Oleh Made Ali

PENGHUBUNG PEKANBARU-RUMBAI, JEMBATAN LEIGHTON. Memasuki Jalan Yos Sudarso. Tepat di depan tugu, belok kanan. Jalan tak beraspal. Menyusuri gang-gang sempit di atas jalan berpaving blok. Sekira seratus meter dari sungai Siak. Di tengah-tengah perumahan warga.

Damsir, warga Rumbai Pesisir.

Di depan rumah panggung berdinding kayu itu, hanya pohon mangga setinggi sekira empat meter berdaun hijau cerah. Selebihnya muram; halaman bertanah merah bata, seng berkarat menutupi tumpukan batu bata merah, dan tumpukan kayu bekas rubuh.

Di atas rumah beralaskan papan, beratap seng separuh berkarat. Asrul dan Damsir kopek cabai merah panjang kering. “Dua karung patang basusun, tingga sakarung, lah panek. Dek amak saorang se nyo mangopek (kemarin ada dua karung tersusun, sekarang tinggal sekarung, sudah lelah. Karena saya sendiri yang mengopek),” kata wanita tua berkerudung itu. Kopek istilah yang mereka pakai. Sebenarnya, cabai panjang itu dipisahkan antara cabai dan tangkainya. Dipotong jadi kecil-kecil agar mudah digiling. Biasanya memakai tangan.

“Caliak lah tangan ko ha. Alah luko. Ndak talok lai tangan ko ha, ambek pisau. Iko lah kanai tangan amak lah. Iko nan ketek ko ha. Kareh kan? (lihat lah tangan ini. Sudah luka. Tidak kuat lagi tangan ini, makanya saya pakai pisau. Ini saja tangan saya sudah luka. Ini yang kecil, keras kan)?” Damsir tunjukkan bekas sobekan kecil memanjang pada jari telunjuk tangan kirinya. Tangannya kasar dan keriput.

Cabai musti dijemur agar mudah dikopek. Lovina coba kopek beberapa cabai, butuh tenaga saat kopek pakai tangan. “Terasa sakit dan perih ibu jari dan telunjuk ini,” keluh Lovina. “Dari tadi malam karajo mah, baru dapek dua karung. Dek amak surang. Besok ka dibaok dek urang (Dari tadi malam kerja, baru dapat dua karung. Karena memang saya sendiri. Besok mau dibawa orang),” keluh Damsir, petang hari kesepeluh awal tahun 2011 itu.

Biasanya, Asrul membantu. “Saya tidak bisa, sakit sesak napas sudah tiga hari. Mano ka ngopek awak lai, tu di dalam rumah lai (Mana bisa mengopek saya lagi, makanya di dalam rumah saja),” sambil memegang dadanya yang menyembul di balik gelap kulit tuanya. Empat hari lalu pondok kecil untuk menjemur dan kopek cabai di depan rumahnya roboh diterpa angin kencang. Tiga hari ia perbaiki sendiri, dadanya sakit.

Sekilo cabai dihargai lima ribu rupiah. “Cabe urang ko, beko sudah piti bagi amak (cabe punya orang ini, jika sudah selesai uang baru dikasih). Dari subuh mangopek tingga sekarung,” kata Damsir. Karena sudah tua, Damsir kopek cabai di rumah, biasanya di Pasar Kodim. “Jalan kaki tu mah. Alah tuo amak. Kini anak manggantian amak kini. Kalo ada lado banyak, dibawak pulang dek anak. Inyo mangupek lado juo kini mah. Gantikan amak di pasar (Saya jalan kaki ke pasar Kodim. Sudah tua begini. Sekarang ada anak yang menggantikan. Kalau ada banyak cabai, dibawa pulangnya. Dia mengopek cabai juga sekarang. Gantikan saya di pasar).”

Warag di Petak 40, Tampan. Foto oleh Aang AS.

Cabai yang mereka kopek milik seseorang. “Iko urang pasar punya. Amak kecek, apo ka dimakan lai. Itulah karajo amak (Ini orang pasar yang punya. Saya bilang, apa yang mau dimakan lagi. Itulah kerja saya),” wajah lelah tampak pada raut muka dan mata wanita yang tak pernah sekolah itu.

Tangan, wajah dan tubuh mereka sekering cabai merah itu. Asrul, 78 tahun. Damsir 70 tahun. Keduanya suami-istri. Sudah lima belas tahun, mereka tekuni kerja itu. Tapi, Asrul dan Damsir belum punya rumah. Tempat mereka bernaung saat ini, rumah menantu. Penyebabnya, hasil kopek cabai habis untuk makan. “Panek, tapi baa lagi, untuk makan. Mana cukuik. Amak alah tuo, tu masih amak juo lai mangopek lado (Capek, tapi mau gimana lagi, untuk makan. Mana cukup. Saya sudah tua, tapi masih saya juga yang harus mengopek cabai).”

Selemparan batu dari rumah Asrul. Tiap hari, Riono duduk persis di depan pintu dalam rumah panggung berdinding kayu berwarna kehitaman. Ia melihat kawan sebayanya berlarian, bermain. Sorot matanya tajam. Ia ingin ikut. Tapi, cacat polio membatasi geraknya. Ia cacat sejak usia delapan tahun silam, sempat sekolah kelas satu dasar. Kedua tangan jadi tumpuannya bergerak. Cacat itu karena ayahnya salah urut pada kakinya. Nono kerap mengeluh. Perutnya sudah mengecil karena duduk terus. Ususnya mengecil.

Nono ditinggal ayahnya. Suriani, 39 tahun, ibu Nono jadi tulang punggung keluarga. Dia juga tak bisa kerja. Tiap hari, dia hanya meminta-minta untuk hidupi keluarga. “Kerja lain tidak bisa do. Dulu nyuci sudah lama gajinya Rp 25 ribu satu bulan.”

Saya hampiri Nono. Saya tanya apa cita-cita Nono? “Entah,” katanya sambil menatap keluar. Mukanya memerah, napas naik turun. “Apa yang paling Nono inginkan?” saya tanya lagi. “Nggak mau maen lagi…Entah,” wajahnya berkeringat butiran jagung. Matanya basah. Ia ingin menangis. Ketua Rukun Tetangga 03, Asismar, sedari tadi menemani kami, juga menitikkan air mata.

Asismar bilang, Riono pernah dirawat di Puskemas. Tapi Riono tak tahan karena sakit. “Riono ingin mati saja,” kata Asismar menirukan ucapan Riono. Di tengah jalan itu, Asismar kembali menitikkan air mata.

Yuniza, anak Asismar, sehari-hari kerja memasak untuk catering di jalan Riau. Tiap subuh, dia harus jalan kaki selama satu jam ke tempat kerja. Ironisnya, dia hanya digaji tiga ratus ribu rupiah per bulan, plus per minggu dia diberi ongkos lima ribu rupiah. “Itu pun sudah mau tutup (tempatnya kerja). Yang punya mau istirahat,” kata perempuan, sehari-hari membantu ibunya mengajar ngaji.

Suaminya, buruh liar angkat barang dari mobil ke gudang. Itu pun tak tiap hari, sudah 15 hari ini tak ada kapal masuk. Sehari biasanya diberi Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu. Mereka harus hidupi ketiga anak yang masih sekolah.

Pengopek cabe, peminta-minta, buruh lepas, seolah mewakili 43 kepala keluarga (KK) mata pencaharian hidup di RT 03 RW 13 Kelurahan Meranti Pandak, Kecamatan Rumbai Pesisir. “RT saya paling parah. Miskin semua. Makan sehari saja susah,” jelas Asismar, perempuan 54 tahun itu.

Triono, Ketua RW 13, membawahi lima RT berjumlah sekitar 230 KK. Merinci lebih jauh kondisi masyarakatnya. “Mata pencaharian dominan pekerja lepas. Janda tua. Keluarga broken home. Pemulung. Pendapatan perkapita di bawah satu juta. Rata-rata mereka nyewa rumah,” katanya. “Air bersih agak susah di sini.”

Di belakang rumah Triono, Tuni, 38 tahun. Dia tinggal di sini sejak 1993. Dia janda, sehari-hari jualan sayur tauge di Pasar Kodim. “Modal jualan tauge, orang ngasih dulu modal, baru bayar saat laku,” kata perempuan tiga anak itu. Dari rumahnya ke jalan raya, dia jalan kaki. Lalu naik oplet ke pasar. Tiap hari dia lakoni itu. “Cukup gak cukuplah mas ngidupin keluarga dengan hasil jualan sayur,” katanya.

Data dari Risti Yanti dan Urwatil mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Universitas Riau sedang tugas profesi sudah jalan tiga bulan menyebutkan tingkat pendidikan rendah, mayoritas sekolah dasar. Suku Minang dan Jawa mendominasi pemukiman itu. Mereka catat ada 231 KK. Warga sekitar 500 orang. Rata-rata rumah panggung berdinding kayu. “Kebersihan di sini tidak terjaga,” kata Risti. Di depan rumah yang mereka sewa, tampak genangan air dalam parit berwarna kemerahan. Bau air comberan. “Kebersihan di sini tak terjaga.”

Hanya dipisahkan jalan aspal Yos Sudarso. Sabtu, 8 Januari 2011. Memasuki jalan tak beraspal RW 06, Kelurahan Sri Meranti, Kecamatan Rumbai. Secara kebetulan, saya bertemu Armidi, Ketua RT 03. Siang itu ia sedang menempel stiker daftar pemilih tetap Pilkada Kota Pekanbaru pada Mei 2011 mendatang di salah satu rumah panggung.

Saya tawari diri ikut menempel stiker di rumah-rumah warga, sambil melihat kondisi mereka. Satu persatu rumah warga kami hampiri memasang stiker. Lewati jalan tak beraspal, kami lewati papan kecil menutupi tanah berpasir. Beberapa kali kaki saya terbenam ke dalam tanah lembek bercampur air seperti air teh. Kami lewati jalan setapak kira-kira lebar dua meter. Jalannya tanah rawa.

Ada dua puluh rumah kami datangi. Rata-rata rumah panggung berdinding papan. Di bawah rumah, air berwarna teh pekat bercampur sampah. Baunya nyengat hidung, bau air comberan. Pekerjaan mereka merata; penjahit. Tukang angkut sampah. Bekas karyawan salah satu perusahaan karet. Nyuci di pasar. Tukang bangunan. Tukang becak. Janda. Buruh angkut pelabuhan. Buruh harian. Ada juga pengrajin rotan. Pengangguran.
RT 03 berbentuk letter L. Luasnya kira-kira dua hektar lebih.  Sekitar 200 meter dari Sungai Siak. “RT saya paling gawat. Paling padat sekitar 94 KK. Paling miskin di antara empat RT lainnya. Pendidikan mayoritas lulusan sekolah dasar, bahkan ada yang tidak sekolah,” kata Armidi.

Salah seorang warga, Arnis, 43 tahun. Setahun ini tak bisa kerja karena sakit. Separuh badannya tak bisa bergerak. Dia kena stroke. Suaminya juga sakit, sering sesak napas, tak bisa kerja. Anak ada dua, satu kerja serabutan, satu sudah kawin. Punya cucu dua, masih kecil-kecil. “Untuk biaya hidup, sekarang harus jual satu per satu barang di rumah,” katanya. Sudah tiga bulan tidak berobat karena tiada biaya. Televisi, satu-satunya barang tersisa.

Pemandangan tak jauh beda dengan tetangga sebelah, RT 05. Berpenghuni sekitar 10 janda dari 54 KK. Semua rumah panggung kayu. “Di sini banyak orang tua-tua. Janda ada yang punya anak 3-4 orang kerjanya nyuci, hanya dapat Rp 300-400 ribu sebulan,” kata Yurdianto, ketua RT. Mayoritas buruh lepas. Separuh penduduk sewa rumah, perbulan Rp 150 ribu, “Kadang tak terbayar,” kata karyawan karet itu.

SENIN, 27 DESEMBER 2010. Jelang siang, puluhan massa Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) datangi gedung parlemen Kota Pekanbaru. Mereka protes terhadap Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Pekanbaru menggusur pedagang jagung di Bandar Serai Raja Ali Haji, empat hari lalu.

Mahyana, salah satu peserta juga pedagang jagung mengaku omset jualannya merosot. “Berjualan di belakang, sebulan uang lima puluh ribu sulit didapat. Anak saya saja dua bulan belum bayar uang sekolah,” aku Mahyana. Dia juga keluhkan perlakuan Satpol PP menahan kursinya. “Itu bayarnya masih kredit Pak.”

Sejam menunggu, Kamaruzzaman, sekretaris komisi satu DPRD Kota Pekanbaru,  menemui mereka. “Kami di DPRD sudah berjuang untuk ibu dan bapak semua, tapi itu memang hak propinsi, kalau masih mau komplain ke propinsilah,” kata Kamaruzzaman sambil meninggalkan massa.

Agun Zulfaira, Dewan Pimpinan Wilayah SRMI Riau, ambil pengeras suara. “Ternyata tak ada solusi diberikan anggota dewan, mereka saja tidak berani mengasih solusi, jadi kita akan mengambil sikap sendiri,” teriaknya. “Jika tak ada solusi nanti malam kita kembali berjualan di depan MTQ, jika ada satpol PP yang menggusur akan kita lawan,” tegas Bimbim, Ketua SRMI Kota Pekanbaru. “Sepakaaat.” Mereka bubar.

Malam hari, puluhan pedagang jagung bakar kembali berjualan di atas trotoar Bandar Serai Raja Ali Haji atau gedung purna MTQ, Jalan Jenderal Sudirman, sekitar 500 meter dari bandara Sultar Syarif Kasim. Trotoar itu bersebelahan dengan parit. Dalam peraturan daerah nomor 5 tahun 2002, trotoar dilarang digunakan untuk berjualan. Trotorar khusus untuk pejalan kaki. Inilah buntut penggusuran itu.

Bocah anak pedagang jagung MTQ. Foto oleh Aang AS.

Di atas trotoar dekat gapura Taman Labuai. Agun dan Adi Adit Kuswanto, ketua Akademi Rakyat Riau duduk pada sebuah kursi plastik. Mereka menunggu Satpol PP. “Siap-siap hadapi Satpol PP,” kata Agun. Erisman pemilik dagangan itu, menyuguhkan kopi hitam. Tak jauh dari tempat duduk itu, gumpalan asap putih ngepul dari atas panggangan jagung. Jagung mentah, santan, dan mentega tersaji pada sebuah meja kecil setinggi kira-kira semeter. Ada juga pisang.

Sesekali mata Agun liar melihat kendaraan lalu lalang. Agun cerita. Ada sekitar 113 pedagang jagung bakar berjualan yang diorganisir SRMI Riau. Mereka gantungkan hidup dari kepulan asap jagung. Mereka rata-rata pendatang dari Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Palembang.

Erisman, ikut nongkrong. Ia sudah sepuluh tahun berjualan di Purna MTQ. Hanya ada 20 pedagang jagung pada tahun 2000. Ia bisa sekolahkan kelima anaknya. Sebelum jualan jagung, ia kerja kenek mobil, penghasilan tak cukup ketika ia berkeluarga. “Makanya saya beralih menjadi penjual jagung bakar,” katanya. “Hasilnya bisa untuk uang rokok dan makan sehari. Biaya perhari empat puluh ribu. Biaya makan, kadang tertutup, kadang tidak,” katanya. Dua buah motor kredit, bisa ia beli sejak jualan jagung. Itu pun kalau berjualan di depan gedung MTQ.

Pemerintah himbau para pedagang yang jualan di depan Purna MTQ harus pindah ke Taman Labuai dan di belakang MTQ. Labuai adalah lokasi milik plat merah Perusahaan Daerah Pembangunan pemerintah Kota Pekanbaru.

Tentu, Erisman menolak. Sebab, penghasilan mereka berkurang. “Dari pada kelahi dengan perut, lebih baik kelahi dengan orang (Satpol PP),” katanya. Para pembeli, kata Erisman, tidak hanya orang lokal.” Turis dari Malaysia dan Singapura kalau berkunjung di Pekanbaru, mereka mampir di MTQ.”

Jam menunjuk angka 21.05. Satpol PP belum jua datang. Dua orang pengamen memegang gitar melambai pada Agun. “Kita sadarkan mereka ditindas sistem,” kata Agun. Agun menjelaskan, sewa tempat mahal dalam kawasan Labuai. Mereka bersedia pindah ke belakang, bila tuntutan seperti lampu dan tenda dipenuhi. “Kami hanya minta tempat. Ada legalitas layak huni. “Anjing saja dipelihara tak kasih makan, digigit kita,” tambah Erisman.  Agun juga bilang, jika pedagang jagung ditutup, berakibat pada produsen jagung, pedagang arang, pedagang pisang, pedagang santan kelapa, air mineral, dan tentu saja produsen teh botol Sosro, yang tentu saja merugi. “Satu malam saja pedagang jagung berjualan, perputaran ekonomi rakyat berputar.”

Saya dan Agun jalan kaki, dari tempat Erisman menuju gerbang berikutnya. Sepanjang trotoar itu kepulan asap arang meliuk-liuk. Ada sekitar 20 pedagang jagung jualan sepanjang trotoar.

Belok kiri, dekat gapura. Di atas trotoar. Kami tiba tempat Jhonroy Tampubolon, pedagang jagung bagian belakang gedung MTQ. Pemilik dagangan punya tenda-tenda. Suasanyanya gelap. Dari sore hingga pukul 22.00, jualan Tampu belum juga laku. “Arang sudah dari tadi kita bakar. Kalo hari ini tak laku santan basi.”

Tampu berjualan sejak 2001. Ia mengaku pertama kali berjualan di belakang. Nasibnya sama dengan penjual jagung lain, sering digusur Satpol PP. “Yang di gusur adalah tenda saya, katanya mengganggu pejalan kaki,” kata pria yang pernah kerja kuli bangunan, penarik sampah di Jalan Kartini itu. Waktu itu gajinya seratus ribu rupiah per bulan.

Tampu sebenarnya mau ikut dengan peraturan pemerintah asal tak merugikan pedagang. Mereka mau mematuhi aturan itu dengan syarat, lampu, tenda disediakan. Di belakang gelap sekali. Tapi, pemerintah tak sanggupi.

Dari usaha jagung bakar ini, Tampu sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. “Jualan jagung sudah mencukupi kebutuhan, kontrakan sudah bisa dibayar,” katanya.

Tak jauh dari tempat Tampu, nenek renta Sariem, 85 tahun sudah tiga puluh tahun berjualan di MTQ. “Di sini (MTQ) dulu masih hutan,” ucap Uwe, sapaan akrab Sariem. Pada 1980-an Uwe membuka kedai nasi. Karena satu hal kedainya tutup. Dia pun beralih jualan jagung.

Pada 2001 Uwe berjualan jagung lagi, sudah gonta-ganti tempat berjualan. Dari depan, belakang. Dan sekarang Uwe berjualan di belakang. “Kalo di belakang bisa istirahat,” katanya.

Selain berjualan Uwe juga berkerja sebagai penyapu jalan. Perbulan upahnya Rp 1.050.000. Pagi Uwe penyapu, sorenya berjualan. “Aku ini tidak mau diam, harus bergerak,” katanya. Dia sederhana, memakai baju daster warna orange, beralaskan sendal jepit, jaket bergambar micky mouse, rambutnya dilindungi tutup kepala, lehernya melilit handuk kecil.

Dagangannya pernah digusur Satpol PP, tendanya dibakar. “Saya nangis saat tenda saya digusur,” cerita wanita dari Sawahlunto, Sumatra Barat.
Kini Uwe tinggal bersama anaknya di atas tanah orang di samping MTQ. “Itu rumah saya yang tidak ada lampu,” sambil menunjukkan rumahnya. Uwe hanya ingin tenda yang layak dan tambahan uang berdagang.

Empat hari kemudian. Purna MTQ, pukul 21.40. Suasana seperti biasa, pedagang sedang mengipas jagung bakar, ada yang menunggu pembeli dan bercengkrama dengan pedagang lain. Ada isu Satpol PP akan gusur pedagang jagung.

Suasana panik. Dari ujung dekat jalan Parit Indah, pedagang mulai mengemas dagangannya. Tapi sebagian pedagang di depan MTQ tak lakukan apa-apa. Mereka tetap menjajakan jualannya.

Aang dan Fadli keliling melihat kondisi para pedagang setelah mendengar kabar itu. Mereka awali dari gerbang Lubuk Idai. Suasana tak panik dan asap pembakaran masih mengepul. Begitu juga dengan pedagang di belakang dan gerbang Taman Labuai. Lima belas menit sudah menunggu. Tidak ada sinyal bahwa Satpol PP akan datang.

Pedagang kembali mempersiapkan dagangannya lagi. Mereka beserta anaknya mengangkat meja, kursi, pembakaran dan karung berisi jagung dan tempurung kelapa.

Penghubung pekanbaru-rumbai, jembatan leighton. Puluhan tenda-tenda pedagang berwarna biru. Mereka punya tempat bagus. Sekitar 20 meter dari Leighton. Saya tiba di gubuk agak miring itu membelakangi Sungai Siak milik Roslaini, pedagang jagung.

Tempat Ros tak bertenda. Ada televisi ukuran kecil. Ditemani suami Zaherman, Ros cerita sudah 10 tahun jualan jagung. Sudah satu bulan ini sepi. Jumlah pedagang pun mulai menyusut. Empat meter dari gubuk itu, anaknya juga buka jualan jagung. Rumah Ros paralel dari tempatnya berjualan.

Sudah tiga kali dibongkar. “Saya bertahan. Asal semua digusur, saya mau,” kata Ros. Medio 2010, aman tak ada nagih-nagih digusur. “Karena ikut SRMI inilah pondok ini bisa berdiri sampe sekarang kalo tak dah digusur, tak ada lagi.”

SIANG ITU LENGANG, Senin, 4 Januari 2011. Sampah plastik tersusun di antara rumah susun di Petak 40, RT 04 RW 02, Kelurahan Delima, Kecamatan Tampan. Petak 40 adalah pemukiman pemulung. “Semua warga di Petak 40 adalah pemulung,” kata Zakariah, Ketua RT.

Petak 40 terdiri empat baris rumah. Di sini rumah kontrakan. Per bulan Rp 200 ribu. Satu baris meliputi sepuluh rumah. Luas petak 400 x 800 meter persegi. Terdiri dari 58 KK. Satu KK rata-rata tiga anggota keluarga. Mereka memulung sampah plastik. Ada botol minum kemasan, karton, dan kaleng susu. “Sejak tahun 2005 lah hampir rata-rata semua di sini pemulung,” kata Zakariah.

Harianja merapikan hasil mulungnya. Ia akrab dengan sampah plastik tersusun dalam karung 3 x 2 meter. Ia sudah tujuh tahun di Petak 40. Ia memulung sekitar Jalan Soebrantas. Ia bekerja dari dini hari hingga petang. “Sampah plastik kita tumpuk, per sepuluh hari akan diambil, jadi baru dapat uang per sepuluh hari,” katanya. Ia bisa dapat Rp 250 ribu. Perbulan rata-rata tujuh ratus ribu rupiah. “Untuk sewa rumah saja sudah Rp 200 ribu, listrik Rp 70 ribu perbulan, belum lagi kebutuhan sehari-hari, tambah lagi sekolah anak. Tidak cukup lah.”

Harga karton sekarang, rincinya, Rp 900 per kilogram. Kaleng susu Rp 1.000 per kilogram. Gelas minuman plastik Rp 1000 per kilogram. “Sampai hari ini belum ada kami dapat bantuan program pemerintah. Paling sukarelawan, saat lebaran kami biasanya dapat bantuan.”

Kerja pemulung memang pilihan. “Saya sudah kerja macam-macam, tapi mau bagaimana lagi di sini kita harus jadi pemulung. Kita susah waktu harga plastik bekas seperti ini turun, itu yang buat kita semakin sulit, naik turunnya harga yang tak menentu.”

Teman seprofesi Harianja, Amir, 68 tahun. Tinggal di petak 40 sejak 2002. Pada 1973 ia sudah menetap di Pekanbaru. Barang hasil memulung ditumpuk di samping rumah. “Biaya hidup, pengeluaran rutin itu kontrak rumah Rp 200 ribu per bulan, listrik Rp 100 ribu, belum lagi sekolah anak.”

Amir juga bertani sayur kecil-kecilan di samping rumah gunakan lahan orang lain. Lahan tak disewa. “Kadang saya jual di depan rumah, kadang saya bawa ke pasar, itu pun di pasar belum tentu habis. Hasil penjualan hanya dapat sedikit, bisa untuk tambah-tambah lah,” jelasnya. “Itu kita numpang tanah orang, kebetulan kenal. Jika suatu saat dibangun, ya terpaksa kita tak bertani lagi. Namanya saja numpang.”

Hari ini, Amir sudah tak terlalu kuat jadi pemulung. Hasil mulung, jual sayur  per bulan hanya dapat Rp 700 ribu. “Dari sayur tak usahlah saya katakan. Itu angin-anginan.” Amir juga ternak ayam. “Kalau hasil ternak hanya konsumsi pribadi.”

Sejak tinggal di sini, kata Amir, tak ada program pinjaman dana, seperti KUR masuk. “Padahal saya pernah lihat di TV, tapi kok gak sampai ke sini. Paling ada bantuan dari kecamatan dulu, ada kompor, kuali, dan uang 250 ribu, itupun waktu pemilu,” kata Amir. “BLT juga pernah dapat, tapi di sini yang dapat hanya belasan keluarga. Itu rekomendasi RT, tak semuanya.”

Di petak 40 urus kartu identitas mahal. “Kita kan tak bisa ngurus semua persyaratan surat pindah, jadi kita main ngurus tembak. Itu buat KK sampai Rp 600 ribu, KTP Rp 150 ribu.”

Menurut Zakariah, Ketua RT, banyak warga yang masuk di petak 40 tidak melapor dengan syarat lengkap. “Itu kendalanya, syarat seperti surat pindah dari kampung asal tak ada, jadi masalahnya di situ.”

Kecamatan Tenayan Raya. RT 03 RW 09 Seroja Indah Kelurahan Kulim Atas. Warga Seroja Indah umumnya petani. Ada petani sayur, buah dan ada sedikit punya kebun sawit dan karet. Hampir tiga kilometer jalan Seroja Indah tak beraspal. “Itu sudah lama, lebih dari 20 tahun yang lalu jalan ini belum juga diaspal,” kata Wibowo, Ketua RT.

Di sini listrik belum masuk. Warga pakai genset iuran per KK. Mereka membeli genset pada 2005. Iuran Rp 70 ribu per KK. “Pernah saya mengurus untuk listrik ini, tapi tertipu, lenyap duit Rp 3 juta.” Listrik hidup dari petang hingga tengah malam. “Susah juga kalau anak-anak dapat tugas yang harus cari lewat internet, harus keluar kampung malam-malam.”

Ada 70 KK hidup bertani. Mereka kebanyakan memakai lahan orang lain. “Tapi kan tak tahu kita, seketika orang itu minta lahan, habislah mata pencaharian kita di sini,” kata Wibowo.  “Suatu saat pasti akan kena imbas pembangunan kota, apalagi mereka yang tak punya tanah, tentu tak dapat ganti rugi, mau kemana mereka.”

Wibowo sudah alih profesi jadi penjaga sekolah. “Makanya dari sekarang saya sudah mulai katakan pada warga agar siap-siap cari kerjaan baru, bertani di sini tak akan bertahan sampai lama.”

Rata-rata warga punya KTP. Memang banyak perantau dari Jawa dan Medan. “Di sini sumber daya manusia memang kurang, kebanyakan tamat SMP.”

Petani di sini banyak juga yang meminjam dana dari tengkulak, merugikan petani. “Saya berharap pemerintah dapat memberikan pinjaman lunak, sehingga menekan tengkulak dalam ‘menghisap’ petani.”

Soal PPL (penyuluh pertanian lapangan), kata Wibowo, mereka kebanyakan tak mengerti soal pertanian. “Mereka juga tidak melakukan pendampingan secara tuntas. Lalu soal pupuk subsidi. Di sini sampai ke petani harga mahal. “Distributor banyak alasan, biaya angkut lah, upah muat dan lainnya,” kata Wibowo.

Budiono, 34 tahun, petani ngontrak tanah. Pada 1991 Budiono datang ke Pekanbaru, bersama kakaknya Arif Budiman—dari Jawa Timur. Tiba di sini ia diajarkan bercocok tanam. Karena tak mempunyai dasar tentang pertanian. “Saya belajar dari majalah dan buku-buku,” katanya. Awal bekerja ia menerima upah delapan puluh ribu perbulan. Ia pernah dapat bantuan langsung tunai, seratus ribu rupiah, “Tiga bulan sekali dapat.”

Program lainnya pemberantasan rakyat miskin (Taskin), untuk petani dibuatkan kelompok terdiri dari lima orang. Tiap kelompok mendapat dana lima juta rupiah. “Tapi program ini tidak tepat sasaran,” katanya. Menurut Budiono orang yang diberikan dana itu kehidupannya layak, dan pemerintah mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS).

Jika sedang sibuk, Budiono mempekerjakan orang-orang dekat. Upahnya 50 ribu per hari.  Untuk modal dia bekerjasama dengan sebuah perusahaan yang tidak terlalu memberatkan petani. Dan bagi hasil jika setelah panen. Hasil rata-rata Rp 800 ribu. “Tidak cukup lah segitu.”

Muhammad Arif, 38 tahun, ketua kelompok tani Seroja Indah bilang banyak dana bantuan untuk petani tak transparan. Arif memang punya lahan sendiri. Modal ia dibantu seseorang, tidak dari tengkulak.

Kebanyakan petani di sini memang menumpang di lahan orang lain. Seharusnya pejabat pemerintah mencarikan tanah bagi petani. Pupuk bersubsidi saja yang harga sebenarnya hanya Rp 68 ribu, disini jadi Rp 105 ribu per 50 kilogram. “Jadi jelas ada permainan yang merugikan petani.”

Lalu PPL tidak intens membantu petani. Mereka datang saat diundang. Atau sedang ada proyek bantuan pada petani. Menurut Arif, peran pemerintah harus bisa memperkecil gerak tengkulak. “Pinjaman lunak bisa dilakukan pemerintah, tapi pemerintah tidak punya porgram yang bagus untuk menyejahterakan petani.”

Jalan terjal menurun tak beraspal. Tanah keras warna kuning ditempuh untuk sampai di RT 01 RW 22, Kelurahan Sail, Kecamatan Tenayan Raya. Tempat pencetakan batu bata. Di tepi jalan banyak rumah warga. Ada rumah permanen ada juga bedengan. “Bedengan itu biasanya buruh cetak, mereka datang dari luar,” kata Muklis.

Muklis dan istrinya Yet, buka usaha batu bata sejak 1970. “Kalau pinjaman dari bank di persulit. Banyak syaratnya,” kata Yet. Ada juga minjam kepada tengkulak tapi bunganya banyak.

Anak Muklis dan Yet tiga orang. Pertama kuliah, kedua kelas 1 SMP, dan terakhir kelas 5 SD. “Untuk kebutuhan sehari-hari bisa tertutupi, untuk anak sekolah itu yang berat.” Dalam satu bulan mereka bisa menghasilkan 50 ribu bata. Per bata di hargai 160 rupiah. Untuk upah cetak dan kayu bakar Rp 1.300.000, “Dan setiap bulan selalu ada yang mengambil,” kata Yet. Menurut yet Kulim menjadi pemasok batu bata untuk Riau.

Pemasaran kebanyakan memakai jasa toke, karena dia yang tahu pasarnya. Muklis dan istrinya membuka usaha ini modal 20 juta. Awalnya masih manual—memakai cetakan. “Tapi sekarang  pakai mesin,” ucapnya. Menurutnya memakai mesin lebih cepat, sehingga tidak memakan waktu yang lama.

Mesin cetak ini menghabiskan 10 liter solar. Kalau memakai jasa buruh—satu orang buruh bisa membuat seribu batu bata, sedangkan mesin cetak mengasilkan sepuluh ribu per hari. Tapi ada soal lain, harga yang tidak stabil dan tidak adanya koperasi yang dibuat pemerintah, agar harga produksi bata bisa stabil.

“Jika adanya koperasi. Biarpun pasar lagi sepi. Tapi koperasi tetap membeli. Dulu ada koperasi di bawah naungan pemerintah. Tapi putus di tengah jalan. Karena pengelolanya tidak ada lagi,” kata Yet.

Kini Muklis mempekerjakan dua orang dari pesisir selatan—Sumatra Barat. “Baru dua minggu tinggal di sini,” kata Muklis. “Sebelumnya saya dan istri saja yang kerja, tak sanggup bayar karyawan, karena bata turun.”  Hari kerja mulai dari Senin-Sabtu, Minggu libur. Dulu Yet pernah membuka kedai kelontongan, “Kadang-kadang laku, kadang tidak,” kata Yet. Karena para pembeli rata-rata mengutang padanya.

Muklis pengusaha kecil batu bata. Menurutnya, Di RT ini ada sekitar 40 KK, satu KK kira-kira empat anggota keluarga. Memang tak menentu pendapatan, Rp 800 ribu – Rp 1 juta. “Untuk makan bisa lah, tapi beratnya untuk sekolah anak, apalagi ada anak yang kuliah.”

Di sini jalan tak beraspal sejak 15 tahun lalu. “Warga di sini dulu yang merehab jalan lewat iuran bersama. Sudah berapa kali kami masukkan proposal belum juga lagi ada realisasi.”

KECAMATAN LIMA PULUH. RW 07, Kelurahan Tanjung Rhu. Purnawarman, 41 tahun, Ketua RW, tinggal di RT 03. Ada lima RT di RW 07. Mayoritas warga, 80 persen RT 03 bekerja buruh angkut di pelabuhan Sungai Duku, termasuk Purnawarman. Buruh angkut untuk Pekanbaru-Selat Panjang pakai Jelatik ada 40 orang. Pekanbaru—Bengkalis pakai Speed 8 orang, dan 16 orang untuk Pekanbaru—Selat Panjang pakai Speed. Ada juga yang bekerja di pelabuhan peti kemas, 2 orang, PLTD 3 orang. Yang lain sebagai buruh lepas.

Di pelabuhan jika ada Speed atau Jelatik mau berangkat atau datang, mereka menawarkan angkat barang bawaan penumpang. Untuk upah, satu tas Rp 10 ribu dari atas kapal ke bawah. Dari bawah kapal ke terminal Rp 5 ribu. “Rata-rata buruh di sini pendapatannya Rp 50 ribu-Rp 70 ribu per hari.  Jam kerja mereka pukul 07.15 hingga 08.30 pagi. Pukul 11.00 pagi hingga 14.00 siang. Pukul 16.00 hingga 17.30 sore. “Saya sudah lama kerja beginian, tak ada kerja lain. Kalau pandai menabung, bisa beli rumah lah. Contohnya saya.”

Di RT 03 ini ada 197 KK. Dari pengamatan BM lokasi ini sangat padat sekali rumah. Dan gang jalan sangat sempit. Drainasenya kurang bagus. Keluhan warga sampai sekarang: toilet umum, jalan raya, sanitasi dan infrastruktur.

Sebenarnya untuk toilet umum lokasinya sudah diukur, tapi ada beberapa warga tak mau pembangunan toilet di dalam pemukiman warga. “Baunya gak tahan,” kata Purnawarman. Warga maunya di bangun di pinggiran sungai, tapi pemerintanh tak setuju karena peraturan melarang.

Pekerja berbagi dengan pemilik kapal. Misal upah untuk memuat sepeda motor ke kapal Jelatik. Ongkos sepeda motor di Jelatik itu Rp 95 ribu. “Jadi 15 ribu untuk buruh, Rp 80 ribu untuk kapal.”

Purnawarman sudah tiga belas tahun bekerja di pelabuhan tepatnya pada 1997. “Karakter mereka sudah terbiasa dengan suasana pelabuhan, sudah tradisi jadi buruh, sudah terbiasa dengan dapat uang perhari. Bahkan ada anak gak sekolah kalau sudah dapat enaknya kerja jadi buruh angkut di pelabuhan. Dapat hari itu habis hari itu uangnya, jadi memang harus pandai menabung.”

Menurut Pur, kecemasan buruh di sini akan beralih fungsinya pelabuhan ini seiring pembangunan jembatan Siak Meranti. Dulu itu masih banyak kapal, satu persatu sudah berkurang, “Artinya pendapatan buruh di sini berkurang. Dulu Rp 150 ribu perhari dapat.”

Kapal yang tak beroperasi lagi, kata Pur, Surya Gemilang tujuan Malaka. Indomal arah Batam. Speed ke Bengkalis itu ada dua yang tak beroperasi lagi; Alita dan Bengkalis Wisata. Masih ada itu Terubuk. KM Mulya Jaya juga sudah hilang. Jelatik PKU-Meranti Sukma Jaya juga sudah hilang. “Jadi di sini hanya tinggal enam Speed dan satu Jelatik.” Untuk ke Siak masih ada Siak Gemilang dan Siak Wisata. Sekarang siap-siap saja, kata Purnawarman, lima tahun lagi ada lagi pelabuhan. Jadi warga di sini juga harus siap cari pekerjaan lain.

TIAP HARI BUDI SAPUTRA, 22 tahun, ngamen di Bandar Serai Raja Ali Haji, akrab disebut MTQ. “Malu lah jadi pengamen.” Sehari ia dapat Rp 30 ribu-Rp 50 ribu.”Malam minggu bisa dapat Rp 100 ribu,” katanya. Ia hanya Keliling MTQ saja. Dari sore sampai malam. “Uang bagi dengan kawan lain yang ikut. Belum makan lagi. Tiap kali ngamen dikasih, ada yang ngasih Rp 2000-Rp 5000. Itu kalau dia request lagu. Belajar lagu dari buku lagu,” katanya. Pagi hari biasanya ia tidur. “Kami dulu tidur di depan Idrus Tintin itu, sebelum dibangun seperti sekarang.”

Dari kecil hidup Budi susah. Ayahnya, asal Sumatera Barat jualan pakai gerobak sudah meninggal. Ibu dan adiknya, kini tinggal di Kuansing. “Kerjanya pemulung. Tiap hari minggu minta uang Rp 10 ribu. Bukannya tidak mau ngasih, tapi tidak ada uang, gimana mau ngasih.”

Doni, pengamen Arifin, usia 25 tahun. Ia aktif di Kelompok Pengamen Jalanan (KPJ) Riau—KPJ berdiri sekitar 10 tahun. Ia ngamen sejak tahun 2003. Ia tinggal di Jalan Parit Indah. Para pengamen di Bandar Serai diorganisir KPJ. “Uang kas Rp 10.000 tiap hari, kalau ngamen. Itu untuk beli gitar,” terangnya. Ada sekitar 50 anggota KPJ, aktif sekira 20 pengamen. “Dulu tidak ada tukang jagung di sana. Sejak ada tukang jagung jadi berkurang pendapatan. Karena dulu hanya ada orang pacaran. Ngamen sedikit langsung dikasih karena tidak mau diganggu. Kalau sekarang orang makan jagung santai-santai saja,” lanjutnya. “Kalau pendapatan sendiri biasanya habis untuk sendiri. Untuk beli makan, rokok. Kalau misalnya hujan tidak main, ngutang dulu buat makan. Nanti kalau ada duit baru ganti.”

Murid Akademi Rakyat di Purna MTQ. Foto oleh Aang AS.

Sejak dua bulan ini, KPJ dibina oleh Akar. Akar adalah lembaga nirlaba bergiat untuk pendidikan gratis. “Itulah ada rombongan Akar yang bisa mengarahi kami. Kalau rapat yang dibahas siapa yang tidak bayar uang kas, siapa yang sakit dijenguk. Ada peraturan khusus. Dilarang mabuk pas ngamen, dilarang kelahi sesama pengamen, tidak boleh saling mendahului kawan. Orang ngamen di sini tidak boleh kita serobot.”

“Jadi pengamen ini di mata orang nilainya jelek. Dulu ngamen sekedar jadi kedok supaya bisa copet, tapi sekarang tidak boleh lagi. Kita pun punya kartu anggota untuk bukti.”

Pemulung pun ramai di Bandar Serai. Dimar, 70 tahun, siang itu baru dapat sekantong barang bekas. “Ngambil barang bekas sudah tiga tahun. Dijual dua ribu rupiah per kilo. Hanya sekantong dapatnya. Ini Rp 3 ribu,” kata Kakek yang tinggal di Jalan Arifin Ahmad. Karena sudah tua, ia hanya mulung di seputaran Bandar Serai.

Tasli Dewi, 32 tahun dan Nasrul 43 tahun tinggal kelurahan Kampung Baru, Senapelan, tak jauh dari tempat Ros tinggal. Pekerjaan sehari-hari Sitas—panggilan Tasli—nyuci dan gosok baju. “Itu pun tidak setiap hari, tergantung kalau ada orang panggil. Biasanya dua kali dalam sebulan.”

Rumah panggung yang mereka huni milik sendiri. “Tapi tanah sewa. Sewanya Rp 600 ribu setahun, dibayar langsung di awal tahun, tak bisa dicicil lagi.”

Suaminya, Nasrul, pemulung. Berangkat pukul 07.30 pakai gerobak dorong jalan kaki keliling Pekanbaru. Anak empat, tiga sekolah. Anak-anak mereka jalan kaki setiap hari ke sekolah. “Sekitar 30 menit dari rumah.” Pendapatan Nasrul sebagai pemulung Rp 30-40 ribu sehari. Tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Rumah mereka bangun sendiri dengan cara mengumpulkan kayu-kayu dan triplek bekas. Dulu rumahnya sudah miring dan tak layak ditinggali di atas tanah 6 x 4 meter. Lalu, mereka kumpulkan duit Rp 3,5 juta untuk bikin rumah. Saat duit terkumpul Rp 2,5 juta selama 3 tahun, cobaan berat mendera. Ayah Nasrul meninggal dan anak mereka kecelakaan pada waktu berdekatan. Sebulan kemudian Nasrul operasi mata.

Sempat tergoda untuk pakai duit Rp 2,5 juta, urung sebab, “Operasi mata dapat bantuan dari Yayasan Budha Suci.” Mata Nasrul katarak. Sejak usia 10 tahun matanya kabur, tak bisa melihat. Kalau kena sinar matahari silau.

Rumahnya terbuat dari kayu. Masaknya masih pakai kayu. Kayu dari hasil rumah lama, yang sudah lapuk dan tidak dipakai. Listrik baru tiga bulan dipasang. “Sebulan bayar Rp 50 ribu untuk listrik. Sebelum pakai listrik pakai lampu teplok.”

Yena wilis, 23 tahun dan Irfan adalah pedagang Meja Osin di Jalan Soebrantas, Panam. Yena sudah tiga tahun berjualan Meja Osin sejak 2008, “Saat itu masih lima orang yang jualan,” katanya. “Suasana saat itu masih aman, tidak ada penggusuran,” tambahnya. Yena tercatat sebagai Mahasiswa di salah satu Sekolah Tinggi di Pekanbaru.

Pada 2009 Yena melamar kerja di perusahaan swasta, sebagai akuntan. Tapi Yena tak lama bekerja di sana. “Saya orangnya tidak bisa di suruh-suruh,” ucapnya.

Pada 2010 menjadi tahun suram bagi pedagang Meja Osin. “Mereka sudah tiga kali menggusur saya,” katanya. Yena mengatakan, sebenarnya kami jualan di atas trotoar jalan Soebrantas, tapi Satpol PP melarang. Dan Yena beralih ke belakang trotoar—tapi mengalami masalah. Dinas Kehutanan tak izinkan para pedagang berjualan di depan pagar kantor. Dinas Kehutanan memagari. “Jadi kami jualan di trotoar lagi,” kata Yena. “Kemudian kami berjualan di dalam pagar yang dibuat Dinas Kehutanan. Dan SRMI turun untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka melayangkan surat kepada kepala Dinas Kehutanan, agar memberikan tempat para pedegang untuk berjualan.”

Dan mereka menyetujuinya, pagarpun dibongkar. Tapi mereka meminta pungutan kepada pedagang untuk ganti rugi perobohan pagar—sebesar tiga puluh ribu per bulan. Untuk jumlah keseluruhan pedagang yang ada di depan Dinas Kehutanan, ada juga pedagang rujak, tangga kayu, dan makanan ringan sekitar delapan belas orang.

Pedagang meja Osin hanya 12 orang. Irfan menambahkan, tidak ada tempat yang layak, kecuali di sini. “Orang sudah tahu kalo jual meja Osin di Panam,” katanya. Awalnya Irfan bekerja sebagai satpam salah satu pasar di Pekanbaru. Tapi tempat kerjanya gulung tikar, dan dia menganggur selama satu bulan. Kemudian Irfan meminjam uang untuk modal usaha perabot.

Pada 2009 awal Irfan berjualan, “Yang penting aman,” kata Irfan. Irfan mengatakan untuk menyiapkan tiga puluh meja Osin, butuh satu minggu.

PITA PUTIH DIIKAT membentangi pintu sebuah rumah berdinding kayu bercat biru. Ini Sekretariat Ikatan Pemuda Sei Duku dan DPKc-SRMI Lima puluh. Beberapa papan nama ucapan selamat terpampang di sekitar sekretariat. Tulisannya: “Selamat atas peresmian posko kesehatan dan pendidikan gratis”. Acara ini ditaja oleh Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) dan Akademi Rakyat (Akar), Minggu (16/01).

Ada tenda berdiri di samping rumah. Puluhan anak termasuk orang tua mereka berkumpul di sana. Para pejabat—Ketua RT 03, Ketua RW 07, Lurah, Camat, Danramil, dan para tokoh masyarakat duduk di sofa barisan terdepan. Pukul 14.20, acara dibuka. Ini acara peresmian sekolah gratis untuk anak-anak di Kecamatan Lima Puluh.

Ketua SRMI Kecamatan Lima Puluh, Ketua DPW SRMI Riau, perwakilan Akar, pemuka RW 07, satu per satu memberi sambutan. Mereka semua senang hadirnya sekolah gratis ini. “Kita akan mengedepankan pendidikan berbasis kerakyatan. Sesuai kondisi masyarakat saat ini,” ujar Ratno Budi saat beri sambutan. Ia perwakilan Akar. “Contoh yang akan kita ajarkan; ayah pergi mencari barang bekas dan ibu pergi mencuci pakaian di rumah tetangga,” lanjutnya. Bukan ayah pergi ke kantor dan ibu pergi ke pasar—seperti diajarkan sekolah formal umumnya. Istilah mereka mengajarkan realitas bukan khayalan.

Terakhir sambutan dari Azly, Camat Lima Puluh. Ia sekaligus meresmikan sekolah gratis ini, menggunting pita. Semua hadirin tepuk tangan. Lalu ia bersama para pejabat lain meninjau dalam posko.

Murid Akademi Rakyat di Tanjung Rhu. Foto oleh Aang AS.

Usai pembukaan, acara dilanjutkan orientasi atau perkenalan anak-anak didik dengan para tenaga pengajar. Husin, salah seorang staf pengajar, memanggil nama anak didik satu per satu. Ada 59 nama yang dibacakan. Anak yang sudah terpanggil namanya masuk ke dalam rumah. Dari 59 nama, ada 38 anak yang hadir.

Anak-anak duduk di lantai. Para pengajar berdiri memperkenalkan diri. Ada 10 staf pengajar. Mereka mahasiswa Universitas Islam Riau dan Universitas Riau. Mulai minggu depan, anak-anak akan belajar rutin, setiap Sabtu dan Minggu. Sabtu belajar kejuruan; seni musik, seni lukis, seni tari, dan teater. Minggu belajar Bahasa Inggris. Sebagian besar murid berminat pelajaran Bahasa Inggris.

Ipad, salah satu orang tua murid, turut mendaftarkan anaknya di sekolah gratis. “Anak saya dua, kelas 5 SD,” terangnya. Ia ingin anaknya pintar Bahasa Inggris. “Bagus, gratis pula. Tambah-tambah ilmu anak saya,” katanya.

Ita, orang tua murid lainnya menyatakan hal sama. “Walaupun sejak SD sudah belajar bahasa Inggris, tapi perlu diperdalam lagi. Kalau mahasiswa kan biasanya pintar,” katanya. Ia menyekolahkan anaknya, Yolanda Fitriani, kini kelas 1 SMP. Rata-rata mereka dapat informasi sekolah gratis dari ketua RW.

SAYA KIRA, kehidupan mereka mirip ‘sekering’ cabai tua yang dikopek Damsir dan Asrul. Bertahan hidup di Kota Bertuah. Tuah mereka hanya ini; bertahan hidup untuk makan hari ini. ***

 

Tinggalkan komentar